-Pengertian
HAM-
Menurut
Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang HAM dalam pasal 1 Hak Asasi Manusia
adaläh seperangkat hak yang melekat pada hakikát dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
-Pelaksanaan
HAM-
Indonesia
adalah sebuah negara demokrasi. Indonesia merupakan negara yang sangat
menghargai kebebasan. Juga, Indonesia sangat menghargai hak asasi manusia(HAM).
Ini bisa dilihat dengan adanya TAP No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, Undang-Undang
No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang peradilan HAM yang
cukup memadai. Ini merupakan tonggak baru bagi sejarah HAM Indonesia.ini
merupakan kebanggaan tersendiri bagi Indonesia, karena baru Indonesia dan
Afrika Selatan yang mempunyai undang undang peradilan HAM. Aplikasi dari undang
undang ini adalah sudah mulai adanya penegakan HAM yang lebih baik, dengan
ditandai dengan adanya komisi nasional HAM dan peradilan HAM nasional.
Dengan
adanya penegakan HAM yang lebih baik ini, membuat pandangan dunia terhadap
Indonesia kian membaik. Tapi, meskipun penegakan HAM di Indonesia lebih baik,
Indonesia tidak boleh senang dulu, karena masih ada setumpuk PR tentang
penegakan HAM di Indonesia yang belum tuntas. Diantara DPR itu adalah masalah
kekerasan di Aceh, di Ambon, Palu, dan Irian Jaya tragedy Priok, kekerasan
pembantaian ”dukun santet” di Banyuwangi, Ciamis, dan berbagai daerah lain,
tragedi Mei di Jakarta, Solo, dan berbagai kota lain, tragedi Sabtu Kelabu, 27
Juli 1996, penangkapan yang salah tangkap, serta rentetan kekerasan kerusuhan
massa terekayasa di berbagai kota, yang bagaikan kisah bersambung sepanjang
tahun-tahun terakhir pemerintahan kedua: tragedi Trisakti, tragedy Semanggi,
kasus-kasus penghilangan warga negara secara paksa, dan sebagainya. Pemerintah
di negeri ini, harus lebih serius dalam menangani kasus HAM ini jika ingin
lebih dihargai dunia. Karena itu, pemerintah harus membuat aturan aturan yang
lebih baik. Juga kejelasan pelaksanaan aturan itu.
Kondisi
HAM di Indonesia menghadapi dua hal dinamis yang terjadi yaitu realitas empiris
di mana masyarakat semakin sadar HAM serta kondisi politik. Soal hubungan
Komnas HAM dengan pemerintah, Marzuki mengatakan, bagian terbesar dari
rekomendasi Komnas HAM terutama kepada pemerintah daerah/gubernur, 60 persen di
antaranya mendapat respon yang konstruktif. Persoalan muncul jika kasusnya
bermuatan politik, seperti Kasus Marsinah atau Kerusuhan 27 Juli. “Perlu ada
pelurusan terhadap gambaran masyarakat soal hu-bungan pemerintah dan Komnas
HAM,” katanya. Marzuki mendengar jika ada persepsi di masyarakat bahwa
rekomendasi. Komnas HAM tidak dilaksanakan oleh pemerintah. “Kondisi ideal HAM
adalah kondisi demokratis,” kata Marzuki. Kesadaran akan HAM maupun
pelaksanaannya hanya mungkin jika ada pembaharuan politik.
Dalam
beberapa persoalan Marzuki melihat sikap kalangan pemerintah maupun ABRI
terhadap masalah HAM tergantung konstelasi politik yang terjadi, bukan pada
pemahaman HAM sebenarnya. Misalnya komentar tentang Kerusuhan 27 Juli, satu
pihak mengatakan bahwa kasus tersebut sudah selesai, namun yang lainnya
mengatakan bahwa langkah-langkah Megawati Soekarnoputri konstitusional. Dia
mengedepankan persoalan HAM di Indonesia dengan satu contoh yakni penggunaan
istilah yang berkonotasi politik terhadap seseorang yang menyentuh martabat
atau privasinya. Istilah gembong, oknum atau otak terutama dalam kerangka
kasus-kasus subversif menjadi biasa digunakan oleh masyarakat menjadi sesuatu
yang normal. “Padahal itu menyentuh HAM, seseorang digambarkan dengan
istilah-istilah,” katanya.
Komnas
HAM sebenarnya menganut prinsip HAM universal dengan dasar Piagam PBB,
Deklarasi HAM serta Pancasila sebagai falsafah politik dan konsitusi UUD ‘45.
“Paham HAM universal itu harus disesuaikan dengan nilai budaya yang berlaku,”
katanya. Namun kurangnya pemahaman HAM atau karena kepentingan politik
seringkali disebut-sebut “HAM di Indonesia sebagai HAM yang khas yang berbeda
dengan HAM universal”.
“Itu
tidak benar. Tidak berarti kita punya prinsip HAM sendiri,” kata mantan Sekjen
Pemuda ASEAN tersebut. Yang benar, HAM universal justru harus diimplementasikan
dalam masyarakat dan peka terhadap nilai-nilai budaya setempat. “Coba cari HAM
khas Indonesia yang tidak ada di HAM universal. Tidak ada,” katanya. Marzuki
menilai persoalan antara HAM universal dan HAM kultural malah menjadi
perdebatan semu. Padahal sebenarnya itu hanya merupakan mekanisme defensif
untuk menghadapi tekanan luar.
Definisi
HAM menurut Pasal 1 Angka 1 UU No 39/1999 tentang HAM adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan
merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi negara,
hukum, pemerintah, dan tiap orang, demi kehormatan, harkat, dan martabat
manusia.
Maka
tidak semua hak dapat dikategorikan sebagai HAM karena pengaturannya dalam UUD,
UU organik, dan perjanjian internasional. Konsekuensi kurangnya pemahaman akan
hakikat dan pembatasan HAM merupakan salah satu penyebab tindakan anarkis.
Kebebasan berpendapat melalui demonstrasi, pawai, rapat umum, mimbar bebas, dan
media sering menjadi ajang caci maki, fitnah, dan tindak anarkis.
Ekspresi
penggunaan HAM berbentuk tarian cakalele sambil mengibarkan bendera RMS di
Ambon atau pernyataan merdeka dan pengibaran bendera Bintang Kejora di Jayapura
merupakan contoh pelanggaran HAM. Dalam penggunaan HAM, dibatasi alasan tidak
boleh mengganggu ketertiban umum, keutuhan, dan kesatuan bangsa, seperti diatur
Pasal 6 Huruf d dan e UU No 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum, Pasal 73 UU HAM dan UU No 40/1999 tentang Pers, Pasal 28 J Ayat (1)
dan Ayat (2) UUD 1945.
Ketegasan
Presiden dalam pidato kenegaraan untuk menindak gerakan separatis yang
mengancam kesatuan bangsa perlu didukung. Sebab, pertama, tindakan hukum atas
kelompok separatis dan anarkis merupakan upaya menegakkan kedaulatan RI dan
wibawa pemerintah.
Kedua,
meningkatkan penegakan hukum, kesadaran, dan kepatuhan hukum.
Ketiga,
meningkatkan sosialisasi dan kesadaran penggunaan HAM dan pembatasannya. Sebab,
kenyataan menunjukkan, banyak pendemo-terutama di daerah-kurang memahami
pembatasan HAM secara normatif.
Masalah
Hak Asasi Manusia (HAM) secara jelas diatur dalam UUD 1945 yang diamandemen.
Tapi, bukan berarti sebelum itu UUD 1945 tidak memuat masalah HAM. Hak asasi
yang diatur saat itu antara lain hak tentang merdeka disebut pada bagian
pembukaan, alinea kesatu. Kemudian, hak berserikat diatur dalam pasal 28, haka
memeluk agama pada pasal 29, hak membela negara pada pasal 30, dan hak mendapat
pendidikan, terdapat pada pasal 31.
Dalam
UUD 1945 yang diamandemen, HAM secara khusus diatur dalam Bab XA, mulai pasal
28 A sampai dengan pasal 28 J.
-Hambatan
HAM-
Tentang
berbagai hambatan dalam pelaksanaan dan penegakanhak asasi manusia diIndonesia,
secara umum dapat kita identifikasi sebagai berikut :
a. Faktor Kondisi Sosial-Budaya
1)Stratifikasi dan status sosial; yaitu
tingkat pendidikan, usia,pekerjaan, keturunan dan ekonomi masyarakat Indonesia
yangmultikompleks (heterogen).
2) Norma adat atau budaya lokal kadang
bertentangan dengan HAM,terutama jika sudahbersinggung dengan kedudukan
seseorang,upacara-upacara sakral, pergaulan dansebagainya.
3) Masih adanya konflik horizontal di
kalangan masyarakatyang hanya disebabkan oleh hal-hal sepele.
b. Faktor Komunikasi dan Informasi
1 ) Letak geografis Indonesia yang luas
dengan laut, sungai, hutan,dan gunung yang membatasi komunikasi antar daerah.
2 ) Sarana dan prasarana komunikasi dan
informasi yang belumterbangun secara baik yangmencakup seluruh wilayah
Indonesia.
3 ) Sistem informasi untuk kepentingan
sosialisasi yang masihsangat terbatas baik sumber daya manusia-nya maupun
perangkat (softwaredan hardware) yang diperlukan.
c. Faktor Kebijakan Pemerintah
1 ) Tidak semua penguasa memiliki kebijakan
yang samatentang pentingnya jaminanhak asasi manusia.
2 ) Ada kalanya demi
kepentingan stabilitas nasional,persoalan hak asasi manusiasering diabaikan.
Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Pernyataan tersebut sangat relevan dalam proses penegakan HAM. Tindakan terbaik dalam penegakan HAM adalah dengan mencegah timbulnya semua faktor penyebab dari pelanggaran HAM. Apabila factor penyebabnya tidak muncul, maka pelanggaran HAM pun dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan,seperti : Supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan,mningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM oleh pemerintah, Meningkatkan pengawasan dari masyarakat dan lembaga-lembaga politik terhadap setiap upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah.
BalasHapusTerimahkasih, cuman sekedar menambahkan, maaf kalo ada yang kurang :)
iya terimakasih juga atas tambahannya
Hapus