Oleh: Alam Lestari
Pelanggaran HAM di Indonesia sejak jaman orde lama hingga jaman reformasi sekarang ini masih banyak kasus yang belum terselesaikan. Tidak terselesaikannya kasus pelanggaran HAM disebabkan tidak adanya keseriusan dari pihak yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada, yakni pemerintah Indonesia. Terbukti, sampai saat ini para pelaku pelanggaran HAM masih bebas berkeliaran dan tidak diadili oleh negara.
Salah
satu contoh kasus yang sampai saat ini belum terselesaikan adalah kasus
pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965-1966 yang telah menyebabkan jutaan
orang tak bersalah ditahan tanpa peradilan, mendapatkan tindak kekerasan,
bahkan kehilangan nyawanya. Awal mula terjadinya kasus pelanggaran HAM tersebut
disebabkan dari adanya ketegangan situasi politik antara PKI, Soekarno,
negara-negara sosialis, dan orang-orang kiri dengan kubu TNI, negara-negara
liberal-kapitalis, dan orang-orang kanan konservatif yang ada di Indonesia.
Ketegangan
situasi politik yang terjadi pada tahun 1965 menimbulkan sebuah peristiwa besar
yang cukup menggemparkan Indonesia, yakni diculiknya 7 perwira tinggi TNI
Angkatan Darat. Peristiwa diculiknya 7 perwira tersebut menyebabkan 6 orang
jenderal, dan 1 orang perwira tewas di tangan Cakrabirawa. Akan tetapi, pasca
peristiwa tersebut Indonesia mengalami peristiwa berdarah-darah yang cukup
panjang setelah diketahuinya 7 orang perwira TNI AD tewas, dan pemerintah rezim
orde baru menuduh dalang pembunuhannya adalah PKI.
Soekarno
yang pada saat itu merupakan Presiden Republik Indonesia (1945-1966), didesak
oleh Letjen Soeharto untuk memberikannya mandat menyelesaikan masalah yang
terjadi pada akhir tahun 1965 dan awal 1966. Namun, penunjukkan Soeharto
tersebut berujung malapetaka untuk orang-orang yang tertuduh sebagai bagian
dari PKI, dan simpatisan Soekarno. Mereka yang dituduh lalu diburu karena
dianggap mendukung PKI, kemudian akhirnya ditangkap tanpa peradilan, disiksa, serta
dibunuh oleh TNI dan ormas-ormas reaksioner.
Setidaknya
ada 3 jutaan manusia mati di tangan tentara, ada juga mereka yang ditangkap
dibebaskan kembali karena benar-benar tidak terbukti bersalah namun mengalami
penyiksaan selama penahanan. Banyak warga negara Indonesia yang sedang menempuh
pendidikan tinggi di luar negeri pada akhirnya tidak bisa pulang ke tanah air,
karena dianggap sebagai simpatisan Soekarno oleh rezim militer yang saat itu
mengambil alih kekuasaan negara.
Rezim
militer atau orde baru secara aktif menyebarkan propaganda dan informasi palsu
mengenai peristiwa sejarah 1965-1966 dengan tujuan mendoktrin masyarakat agar
membenci Soekarno dan PKI. Setelah Soekarno digulingkan dan rezim orde baru
yang dipimpin oleh Soeharto berkuasa, terjadi banyak pelanggaran HAM berat.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, setidaknya 3 juta orang dibunuh
karena dianggap sebagai bagian dari PKI atau simpatisan Soekarno. Tindakan ini
dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM berupa genosida terhadap kelompok
masyarakat yang dituduh memiliki keterkaitan dengan PKI, aliran kiri, dan
pendukung Soekarno.
Peristiwa
terbunuhnya 7 perwira TNI Angkatan Darat atau upaya kudeta militer hanyalah
sebuah alasan agar Soeharto bisa menyingkirkan Presiden Soekarno, dan membasmi
lawan politiknya sampai ke akar-akar yang tidak lain adalah PKI. Sebab, ia jadi
memiliki alasan untuk memaksakan dirinya berkuasa dan bertindak sewenang-wenang
kepada rakyat.
Puluhan
tahun berlalu, tidak adanya upaya pemerintah untuk menuntaskan kasus
pelanggaran HAM 65-66 hingga selesai. Bahkan meminta maaf pun tidak ada,
kecuali Presiden RI yang ke-4, Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur.
Meskipun beliau hanya dua tahun saja menjabat sebagai kepala negara, namun sikapnya
yang toleran, bersahaja, dan berani, sempat mengupayakan penyelesaian kasus
pembantaian 65-66. Lima bulan pasca dilantik menjadi Presiden, Gus Dur yang
pada saat itu juga menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU), membuat pernyataan yang membuat kaget publik. Gus Dur atas nama
Nahdlatul Ulama menyampaikan permintaan maaf kepada para korban tragedi pembantaian
1965-1966. Kemudian, dalam pidatonya yang memperingati Hari Hak Asasi Manusia
Sedunia pada tanggal 10 Desember 1999, Gus Dur mengundang para eksil yang
menjadi korban pengasingan akibat tragedi G30S untuk pulang ke Indonesia,
kemudian memerintahkan menterinya untuk segera memberikan pemulihan serta
memenuhi hak-hak para mantan tahanan politik dan orang-orang di pengasingan.
Bahkan, Gus Dur telah mewacanakan untuk menghapuskan Tap MPRS No. XXV/1966. Isi
keputusan ini adalah pelarangan PKI beserta onderbouw-nya dan pengharaman
ajaran komunisme, marxisme, leninisme di seluruh Indonesia. Bagi Gus Dur, Tap
MPRS tersebut bertentangan dengan konstitusi. Wacana tersebut merupakan langkah
berani Gus Dur dalam menuntaskan kasus pembantaian 1965-1966, dan memberikan
keadilan kepada para korban
Tragedi
pembantaian 1965-1966 yang masih menjadi permasalahan hingga saat ini, terutama
di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, belum menunjukkan tanda-tanda
keseriusan dalam penyelesaian kasus ini. Bahkan, dalam rezim Jokowi, upaya
penuntasan kasus 65-66 mengalami kemunduran. Meskipun Presiden Jokowi
sebelumnya berkomitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat
dari masa lalu selama kampanye pilpres 2014, namun kenyataannya, hal tersebut
hanya menjadi janji yang tidak terlaksana. Dua menteri Jokowi saat itu, yakni
Menkopolhukam Wiranto dan Menhan Ryamizard, secara substansial menyatakan
ketidakberpihakan terhadap penyelesaian kasus pembantaian 1965-1966. Hal ini
mencerminkan bahwa pemerintahan rezim Jokowi dianggap tidak peduli terhadap
kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi pada tahun 1965-1966.
Maka
dari itu, bagi saya, memahami lebih dalam kasus pembantaian 65-66 menjadi suatu
keharusan. Perlu dilakukan analisis mendalam terkait upaya penyelesaian kasus
ini serta sejauh mana implementasinya. Dengan pemahaman yang mendalam, kita
dapat mengevaluasi bagaimana langkah-langkah yang dapat diambil oleh generasi
muda agar dapat turut berpartisipasi aktif dalam menuntaskan kasus pembantaian
1965-1966.
Demikianlah
esai ini saya buat dengan harapan bahwa tulisan ini dapat memberikan
kontribusi yang bermanfaat bagi para pembaca. Saya percaya bahwa melalui
pemahaman yang lebih mendalam tentang sejarah dan upaya penyelesaian kasus ini,
generasi muda dapat memainkan peran penting dalam memperjuangkan keadilan dan
mengakhiri impunitas terkait pembantaian tersebut. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ahsan, I. A.
(2018, Desember 29). Solusi Tragedi 1965: Langkah Maju Gus Dur, Langkah
Mundur Jokowi. Retrieved Desember 23, 2023, from Tirto.id:
https://tirto.id/solusi-tragedi-1965-langkah-maju-gus-dur-langkah-mundur-jokowi-dcz1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar