Sabtu, 23 Desember 2023

SEKILAS TENTANG PERISTIWA BERDARAH 1965-1966 DAN UPAYA DALAM PENUNTASAN PELANGGARAN HAM BERAT

Oleh: Alam Lestari

Pelanggaran HAM di Indonesia sejak jaman orde lama hingga jaman reformasi sekarang ini masih banyak kasus yang belum terselesaikan. Tidak terselesaikannya kasus pelanggaran HAM disebabkan tidak adanya keseriusan dari pihak yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada, yakni pemerintah Indonesia. Terbukti, sampai saat ini para pelaku pelanggaran HAM masih bebas berkeliaran dan tidak diadili oleh negara.

Salah satu contoh kasus yang sampai saat ini belum terselesaikan adalah kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965-1966 yang telah menyebabkan jutaan orang tak bersalah ditahan tanpa peradilan, mendapatkan tindak kekerasan, bahkan kehilangan nyawanya. Awal mula terjadinya kasus pelanggaran HAM tersebut disebabkan dari adanya ketegangan situasi politik antara PKI, Soekarno, negara-negara sosialis, dan orang-orang kiri dengan kubu TNI, negara-negara liberal-kapitalis, dan orang-orang kanan konservatif yang ada di Indonesia.

Ketegangan situasi politik yang terjadi pada tahun 1965 menimbulkan sebuah peristiwa besar yang cukup menggemparkan Indonesia, yakni diculiknya 7 perwira tinggi TNI Angkatan Darat. Peristiwa diculiknya 7 perwira tersebut menyebabkan 6 orang jenderal, dan 1 orang perwira tewas di tangan Cakrabirawa. Akan tetapi, pasca peristiwa tersebut Indonesia mengalami peristiwa berdarah-darah yang cukup panjang setelah diketahuinya 7 orang perwira TNI AD tewas, dan pemerintah rezim orde baru menuduh dalang pembunuhannya adalah PKI.

Soekarno yang pada saat itu merupakan Presiden Republik Indonesia (1945-1966), didesak oleh Letjen Soeharto untuk memberikannya mandat menyelesaikan masalah yang terjadi pada akhir tahun 1965 dan awal 1966. Namun, penunjukkan Soeharto tersebut berujung malapetaka untuk orang-orang yang tertuduh sebagai bagian dari PKI, dan simpatisan Soekarno. Mereka yang dituduh lalu diburu karena dianggap mendukung PKI, kemudian akhirnya ditangkap tanpa peradilan, disiksa, serta dibunuh oleh TNI dan ormas-ormas reaksioner.

Setidaknya ada 3 jutaan manusia mati di tangan tentara, ada juga mereka yang ditangkap dibebaskan kembali karena benar-benar tidak terbukti bersalah namun mengalami penyiksaan selama penahanan. Banyak warga negara Indonesia yang sedang menempuh pendidikan tinggi di luar negeri pada akhirnya tidak bisa pulang ke tanah air, karena dianggap sebagai simpatisan Soekarno oleh rezim militer yang saat itu mengambil alih kekuasaan negara.

Rezim militer atau orde baru secara aktif menyebarkan propaganda dan informasi palsu mengenai peristiwa sejarah 1965-1966 dengan tujuan mendoktrin masyarakat agar membenci Soekarno dan PKI. Setelah Soekarno digulingkan dan rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto berkuasa, terjadi banyak pelanggaran HAM berat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, setidaknya 3 juta orang dibunuh karena dianggap sebagai bagian dari PKI atau simpatisan Soekarno. Tindakan ini dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM berupa genosida terhadap kelompok masyarakat yang dituduh memiliki keterkaitan dengan PKI, aliran kiri, dan pendukung Soekarno.

Peristiwa terbunuhnya 7 perwira TNI Angkatan Darat atau upaya kudeta militer hanyalah sebuah alasan agar Soeharto bisa menyingkirkan Presiden Soekarno, dan membasmi lawan politiknya sampai ke akar-akar yang tidak lain adalah PKI. Sebab, ia jadi memiliki alasan untuk memaksakan dirinya berkuasa dan bertindak sewenang-wenang kepada rakyat.

Puluhan tahun berlalu, tidak adanya upaya pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM 65-66 hingga selesai. Bahkan meminta maaf pun tidak ada, kecuali Presiden RI yang ke-4, Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur. Meskipun beliau hanya dua tahun saja menjabat sebagai kepala negara, namun sikapnya yang toleran, bersahaja, dan berani, sempat mengupayakan penyelesaian kasus pembantaian 65-66. Lima bulan pasca dilantik menjadi Presiden, Gus Dur yang pada saat itu juga menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), membuat pernyataan yang membuat kaget publik. Gus Dur atas nama Nahdlatul Ulama menyampaikan permintaan maaf kepada para korban tragedi pembantaian 1965-1966. Kemudian, dalam pidatonya yang memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia pada tanggal 10 Desember 1999, Gus Dur mengundang para eksil yang menjadi korban pengasingan akibat tragedi G30S untuk pulang ke Indonesia, kemudian memerintahkan menterinya untuk segera memberikan pemulihan serta memenuhi hak-hak para mantan tahanan politik dan orang-orang di pengasingan. Bahkan, Gus Dur telah mewacanakan untuk menghapuskan Tap MPRS No. XXV/1966. Isi keputusan ini adalah pelarangan PKI beserta onderbouw-nya dan pengharaman ajaran komunisme, marxisme, leninisme di seluruh Indonesia. Bagi Gus Dur, Tap MPRS tersebut bertentangan dengan konstitusi. Wacana tersebut merupakan langkah berani Gus Dur dalam menuntaskan kasus pembantaian 1965-1966, dan memberikan keadilan kepada para korban (Ahsan, 2018).

Tragedi pembantaian 1965-1966 yang masih menjadi permasalahan hingga saat ini, terutama di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, belum menunjukkan tanda-tanda keseriusan dalam penyelesaian kasus ini. Bahkan, dalam rezim Jokowi, upaya penuntasan kasus 65-66 mengalami kemunduran. Meskipun Presiden Jokowi sebelumnya berkomitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat dari masa lalu selama kampanye pilpres 2014, namun kenyataannya, hal tersebut hanya menjadi janji yang tidak terlaksana. Dua menteri Jokowi saat itu, yakni Menkopolhukam Wiranto dan Menhan Ryamizard, secara substansial menyatakan ketidakberpihakan terhadap penyelesaian kasus pembantaian 1965-1966. Hal ini mencerminkan bahwa pemerintahan rezim Jokowi dianggap tidak peduli terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi pada tahun 1965-1966.

Maka dari itu, bagi saya, memahami lebih dalam kasus pembantaian 65-66 menjadi suatu keharusan. Perlu dilakukan analisis mendalam terkait upaya penyelesaian kasus ini serta sejauh mana implementasinya. Dengan pemahaman yang mendalam, kita dapat mengevaluasi bagaimana langkah-langkah yang dapat diambil oleh generasi muda agar dapat turut berpartisipasi aktif dalam menuntaskan kasus pembantaian 1965-1966.

Demikianlah esai ini saya buat dengan harapan bahwa tulisan ini dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi para pembaca. Saya percaya bahwa melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang sejarah dan upaya penyelesaian kasus ini, generasi muda dapat memainkan peran penting dalam memperjuangkan keadilan dan mengakhiri impunitas terkait pembantaian tersebut. Terima kasih.

 

DAFTAR PUSTAKA


Ahsan, I. A. (2018, Desember 29). Solusi Tragedi 1965: Langkah Maju Gus Dur, Langkah Mundur Jokowi. Retrieved Desember 23, 2023, from Tirto.id: https://tirto.id/solusi-tragedi-1965-langkah-maju-gus-dur-langkah-mundur-jokowi-dcz1

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar