Sejarah kehidupan Islam di Indonesia telah diakui sebagai
kekuatan cultural, tetapi Islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia
menurut versi Islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, Islam diakui
keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil. Perkembangan
selanjutnya pada masa Orde Lama, Islam telah diberi tempat tertentu dalam
konfigurasi yang paradoks, terutama dalam dunia politik.
Sedangkan Orde Baru,
tampaknya Islam diakui sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa
dan Negara. Pendiskriminasian Islam tersebut memang sudah diawali pada saat
wajah (ideologi) Indonesia akan ditentukan sehingga muncullah berbagai
gerakan-gerakan dan pertentangan-pertentangan Islam anti pemerintah akibat
kekecewaan terhadap pembentukan Negara Pancasila sebagai dasar Negara
Indonesia.
1. Islam, sosialisme,
nasionalisme, dan komunisme
Setelah Kemerdekaan Indonesia tercapai,
mulailah terjadi konflik tentang perbedaan dan persaingan untuk memperoleh
kemerdekaan. Beberapa konflik yang terjadi pada waktu itu umumnya merupakan
gerakan belum membahayakan dan bermunculan partai- partai antara lain:
Pertentangan diantara partai-partai (1950-1955) Pertarungan pada fase ini lebih
tajam lagi ditandai dengan perpecahan diantara partai karena ketidakpuasan dan
perbedaan pemahaman. Yaitu sejumlah anggota Masyumi yang dipimpin Wondoami Seno
dan Aruzi Kartawinata memisahkan diri dengan mendirikan partai Serikat Islam
Indonesia (PSII) yang lama agar dapat duduk dalam kabinet, pecahnya Partai
Masyumi yang sosialis agama dengan kelompok konservatif, pada bulan April 1952
Nahdhatul Ulama (NU) keluar dari Masyumi sebagai partai politik yang dasarnya
perebutan jabatan kementrian agama di kabinet dan bulan April 1955 PKI membuat
persetujuan dengan PSII sebagai pencegahan pandangan masyarakat bahwa PKI anti
agama (BJ. Boland, 1985: 46). Pertentangan Ideologi Pertentangan ideologi ini
menyebabkan terbentuknya dua blok yaitu tentang perumusan dasar Negara antara
Negara yang berdasarkan Pancasila dan Islam. Jika dilihat keadaan umat Islam
pada saat itu masih sangat terpuruk karena persatuan mereka terpecah sehingga
cita-cita untuk mendirikan Negara Islam sebagai tujuan utama terkendala
akibat pergolakan politik yang tidak dapat dibendung lagi oleh tokoh-tokoh Islam.
Namun kenyataannya sekalipun partai-partai Islam berbeda paham,
tetapi pada saat menghadapi partai-partai anti Islam mereka bersama membentuk
front demi tercapainya tujuan utama yaitu Negara Islam.
2. Masa Revolusi dan
Demokrasi Liberal
Pada
waktu proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Piagam Jakarta sama sekali tidak
digunakan. Soekarno-Hatta justru membuat teks proklamasi yang lebih singkat,
karena ditulis secara tergesa-gesa. Semenjak BPUPKI diubah menjadi PPKI,
persentase Nasionalis Islam pun merosot tajam. Yang sedikit agak melegakan hati
umat Islam adalah keputusan KNIP. Komite yang dipimpin Sutan Syahrir ini
membahas usul agar dalam Indonesia merdeka ini soal-soal keagamaan digarap oleh
satu kementrian tersendiri dan tidak lagi diperlakukan sebagai bagian tanggung
jawab Kementrian Pendidikan. Sedikit banyak, keputusan tentang Kementrian Agama
ini merupakan semacam konsesi kepada kaum Muslimin yang bersifat kompromi,
kompromi antara teori sekular dan muslim. Setelah dikeluarkan maklumat Presiden
tentang diperkenankannya mendirikan partai-partai, tiga kekuatan yang tadinya
bertikai muncul kembali. Masyumi (07-11-1945) sebagai wadah aspirasi umat
Islam, Partai Sosialis (17-12-1945) yang mengkristalisasikan falsafah hidup
marxis, dan PNI (29-01-1946) yang mewadahi cara hidup nasionalis “sekular”.
Namun, dalam perjalanan sidang-sidang konstituante, perdebatan ideologis
mengenai dasar negara terkristal menjadi Islam dan Pancasila. Ketika Dekrit
Presiden dikeluarkan, konstituante dinyatakan bubar dan UUD 1945 dinyatakan
berlaku kembali. Hal ini menandai era baru, yaitu Demokrasi Terpimpin. Masyumi
pun dibubarkan dan para anggotanya mengundurkan diri dari partai.[1]
3. Masa Demokrasi Terpimpin
Dengan
bubarnya Masyumi, partai Islam tinggal NU, PSII, dan Perti. Partai-partai ini
mulai menyesuaikan diri dengan keinginan Soekarno yang tampaknya mendapat
dukungan dari dua pihak yang bermusuhan, ABRI dan PKI. Mereka bertujuan agar
nasibnya berbeda dengan Masyumi, yang tokoh-tokohnya, pada waktu
itu,diintimidasi oleh golongan-golongan yang pro-soekarno. Namun sayangnya, tak
ada jabatan menteri berposisi penting yang diserahkan kepada Islam.
Satu-satunya kepentingan Islam yang diluluskan adalah keputusan MPRS tahun 1960
yang memberlakukan pengajaran agama di universitas dan perguruan tinggi.3 Di
masa ini, Soekarno kembali menyuarakan ide lamanya Nasakom (Nasionalis, Agamis
dan Komunis). Dan yang paling dominan adalah PKI. Hal ini menyebabkan
ketidakpuasan umat Islam, kaum nasionalis dan angkatan bersenjata. Masa
Demokrasi Terpimpin itu berakhir dengan gagalnya Gerakan 30 September PKI Tahun
1965, Umat Islam bersama ABRI dan goloongan lainnya bekerja sama menumpas
gerakan ini.[2]
4. Masa Orde Baru
Setelah Orde Lama hancur, kepemimpinan Indonesia berada di tangan Orde
Baru. Tumbangnya Orde Lama memberikan harapan-harapan baru kepada kaum
muslimin. Namun sayangnya, rehabilitasi Masyumi tidak diperkenankan. Orde baru
memang sejak semula mencanangkan pembaruan sistem politik. Parpol difusikan ke
dalam PPP dan PDI (05-02-1973). Penataan kehidupan kepartaian berikutnya adalah
penetapan asas tunggal, Pancasila, untuk semua Parpol, Golkar dan organisasi
lainnya, tidak ada asas ciri, tidak ada lagi ideologi Islam, dan oleh karena
itu, tidak ada lagi partai Islam. Asas tunggal merupakan awal dari era baru peran
Islam dalam kehidupan berbangsa ini. Peran politik (formal) Islam tidak ada
lagi, tetapi sebagai agama yang mengaku tidak memisahkan dari persoalan
politik, tentu peran itu akan terus berlangsung. Mungkin dengan pendekatan yang
berbeda. Dengan pengasastunggalan, sebagian umat Islam menganggap bahwa
penyalur aspirasi pollitik Islam hilang. Terdapat kekhawatiran di kalangan
sebagian mereka terhadap ancaman sekularisasi politik dan kehidupan sosial di
Indonesia. Dengan asas tunggal bagi kekuatan politik dan organisasi
kemasyarakatan, identitas keislaman mereka akan semakin memudar. Peran politik
Islam dalam negara Indonesia cenderung mengalami kemunduran. Disebabkan karena
adanya usaha represif terhadap partai politik yang berhaluan islam, yang
dilakukan oleh penguasa pada waktu itu karena ketakutan akan kehilangan
kekuasaannya. Selama kekuasaan orde baru hanya ada tiga partai yang diakui dan
boleh ikut dalam pemilu. Dan partai yang berasas islam pada waktu itu adalah
Partai Persatuan Pembangunan (PPP).[3]
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Dr. Badri Yatim, MA, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT RajaGrafindo Peserta, 2006, hal 265.
[2]
Taufiq Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam di Indonesia, (Jakarta: MUI, 1991), hal 405.
[3]
Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001, hal 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar