Minggu, 19 Mei 2019

Islam di Indonesia Pasca-Kemerdekaan


        Sejarah kehidupan Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi Islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut versi Islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, Islam diakui keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, Islam telah diberi tempat tertentu dalam konfigurasi yang paradoks, terutama dalam dunia politik.

        Sedangkan Orde Baru, tampaknya Islam diakui sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan Negara. Pendiskriminasian Islam tersebut memang sudah diawali pada saat wajah (ideologi) Indonesia akan ditentukan sehingga muncullah berbagai gerakan-gerakan dan pertentangan-pertentangan Islam anti pemerintah akibat kekecewaan terhadap pembentukan Negara Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia.
           
1. Islam, sosialisme, nasionalisme, dan komunisme
 Setelah Kemerdekaan Indonesia tercapai, mulailah terjadi konflik tentang perbedaan dan persaingan untuk memperoleh kemerdekaan. Beberapa konflik yang terjadi pada waktu itu umumnya merupakan gerakan belum membahayakan dan bermunculan partai- partai antara lain: Pertentangan diantara partai-partai (1950-1955) Pertarungan pada fase ini lebih tajam lagi ditandai dengan perpecahan diantara partai karena ketidakpuasan dan perbedaan pemahaman. Yaitu sejumlah anggota Masyumi yang dipimpin Wondoami Seno dan Aruzi Kartawinata memisahkan diri dengan mendirikan partai Serikat Islam Indonesia (PSII) yang lama agar dapat duduk dalam kabinet, pecahnya Partai Masyumi yang sosialis agama dengan kelompok konservatif, pada bulan April 1952 Nahdhatul Ulama (NU) keluar dari Masyumi sebagai partai politik yang dasarnya perebutan jabatan kementrian agama di kabinet dan bulan April 1955 PKI membuat persetujuan dengan PSII sebagai pencegahan pandangan masyarakat bahwa PKI anti agama (BJ. Boland, 1985: 46). Pertentangan Ideologi Pertentangan ideologi ini menyebabkan terbentuknya dua blok yaitu tentang perumusan dasar Negara antara Negara yang berdasarkan Pancasila dan Islam. Jika dilihat keadaan umat Islam pada saat itu masih sangat terpuruk karena persatuan mereka terpecah sehingga cita-cita untuk mendirikan Negara Islam sebagai tujuan utama terkendala akibat pergolakan politik yang tidak dapat dibendung lagi oleh tokoh-tokoh Islam. Namun kenyataannya sekalipun partai-partai Islam berbeda paham, tetapi pada saat menghadapi partai-partai anti Islam mereka bersama membentuk front demi tercapainya tujuan utama yaitu Negara Islam.

2. Masa Revolusi dan Demokrasi Liberal
   Pada waktu proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Piagam Jakarta sama sekali tidak digunakan. Soekarno-Hatta justru membuat teks proklamasi yang lebih singkat, karena ditulis secara tergesa-gesa. Semenjak BPUPKI diubah menjadi PPKI, persentase Nasionalis Islam pun merosot tajam. Yang sedikit agak melegakan hati umat Islam adalah keputusan KNIP. Komite yang dipimpin Sutan Syahrir ini membahas usul agar dalam Indonesia merdeka ini soal-soal keagamaan digarap oleh satu kementrian tersendiri dan tidak lagi diperlakukan sebagai bagian tanggung jawab Kementrian Pendidikan. Sedikit banyak, keputusan tentang Kementrian Agama ini merupakan semacam konsesi kepada kaum Muslimin yang bersifat kompromi, kompromi antara teori sekular dan muslim. Setelah dikeluarkan maklumat Presiden tentang diperkenankannya mendirikan partai-partai, tiga kekuatan yang tadinya bertikai muncul kembali. Masyumi (07-11-1945) sebagai wadah aspirasi umat Islam, Partai Sosialis (17-12-1945) yang mengkristalisasikan falsafah hidup marxis, dan PNI (29-01-1946) yang mewadahi cara hidup nasionalis “sekular”. Namun, dalam perjalanan sidang-sidang konstituante, perdebatan ideologis mengenai dasar negara terkristal menjadi Islam dan Pancasila. Ketika Dekrit Presiden dikeluarkan, konstituante dinyatakan bubar dan UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali. Hal ini menandai era baru, yaitu Demokrasi Terpimpin. Masyumi pun dibubarkan dan para anggotanya mengundurkan diri dari partai.[1]

3. Masa Demokrasi Terpimpin
  Dengan bubarnya Masyumi, partai Islam tinggal NU, PSII, dan Perti. Partai-partai ini mulai menyesuaikan diri dengan keinginan Soekarno yang tampaknya mendapat dukungan dari dua pihak yang bermusuhan, ABRI dan PKI. Mereka bertujuan agar nasibnya berbeda dengan Masyumi, yang tokoh-tokohnya, pada waktu itu,diintimidasi oleh golongan-golongan yang pro-soekarno. Namun sayangnya, tak ada jabatan menteri berposisi penting yang diserahkan kepada Islam. Satu-satunya kepentingan Islam yang diluluskan adalah keputusan MPRS tahun 1960 yang memberlakukan pengajaran agama di universitas dan perguruan tinggi.3 Di masa ini, Soekarno kembali menyuarakan ide lamanya Nasakom (Nasionalis, Agamis dan Komunis). Dan yang paling dominan adalah PKI. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan umat Islam, kaum nasionalis dan angkatan bersenjata. Masa Demokrasi Terpimpin itu berakhir dengan gagalnya Gerakan 30 September PKI Tahun 1965, Umat Islam bersama ABRI dan goloongan lainnya bekerja sama menumpas gerakan ini.[2]

4. Masa Orde Baru
        Setelah Orde Lama hancur, kepemimpinan Indonesia berada di tangan Orde Baru. Tumbangnya Orde Lama memberikan harapan-harapan baru kepada kaum muslimin. Namun sayangnya, rehabilitasi Masyumi tidak diperkenankan. Orde baru memang sejak semula mencanangkan pembaruan sistem politik. Parpol difusikan ke dalam PPP dan PDI (05-02-1973). Penataan kehidupan kepartaian berikutnya adalah penetapan asas tunggal, Pancasila, untuk semua Parpol, Golkar dan organisasi lainnya, tidak ada asas ciri, tidak ada lagi ideologi Islam, dan oleh karena itu, tidak ada lagi partai Islam. Asas tunggal merupakan awal dari era baru peran Islam dalam kehidupan berbangsa ini. Peran politik (formal) Islam tidak ada lagi, tetapi sebagai agama yang mengaku tidak memisahkan dari persoalan politik, tentu peran itu akan terus berlangsung. Mungkin dengan pendekatan yang berbeda. Dengan pengasastunggalan, sebagian umat Islam menganggap bahwa penyalur aspirasi pollitik Islam hilang. Terdapat kekhawatiran di kalangan sebagian mereka terhadap ancaman sekularisasi politik dan kehidupan sosial di Indonesia. Dengan asas tunggal bagi kekuatan politik dan organisasi kemasyarakatan, identitas keislaman mereka akan semakin memudar. Peran politik Islam dalam negara Indonesia cenderung mengalami kemunduran. Disebabkan karena adanya usaha represif terhadap partai politik yang berhaluan islam, yang dilakukan oleh penguasa pada waktu itu karena ketakutan akan kehilangan kekuasaannya. Selama kekuasaan orde baru hanya ada tiga partai yang diakui dan boleh ikut dalam pemilu. Dan partai yang berasas islam pada waktu itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).[3]



DAFTAR PUSTAKA

[1] Dr. Badri Yatim, MA, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT RajaGrafindo Peserta, 2006, hal 265.
[2] Taufiq Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam di Indonesia, (Jakarta: MUI, 1991), hal 405.
[3] Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001, hal 55.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar