Rabu, 09 Oktober 2019

Sistem Sosial Indonesia

Sistem Sosial
Sistem adalah bagian-bagian yang bekerja sama dalam satu bentuk untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem sosial dipahami sebagai “any, especially a relatively persistent, patterning of social relations across „time-space,‟ understood as reproduced practices” (Giddens, 1984). Dalam pengertian umum demikian, suatu masyarakat atau organisasi sosial atau kelompok, di mana dan kapan pun ia berada, merupakan suatu sistem sosial, yang di dalamnya dapat mengandung subsistem sosial dan dalam pola sistematik yang sangat beragam.
Dalam faham fungsionalisme (Parsons, 1951) sistem sosial merupakan sistem interaksi yang berlangsung antara 2 (dua) pelaku atau lebih, yang masing-masing mengandung fungsi dalam suatu satuan masyarakat.

Sistem sosial dapat dipahami sebagai suatu sistem atau pemolaan dari hubunganhubungan sosial yang terdapat dan berkembang dalam masyarakat tertentu, sebagai wahana 6 fungsional dalam masyarakat tersebut. Dalam pengertian umum demikian, suatu masyarakat atau organisasi sosial atau kelompok, di mana dan kapan pun ia berada, merupakan suatu sistem sosial, yang di dalamnya dapat mengandung subsistem sosial dan dalam pola sistematik yang sangat beragam. Sebagai satuan masyarakat, sistem sosial merupakan sistem yang menjadi wadah bagi totalitas hubungan antara seorang manusia dan manusia lainnya, manusia dan kelompoknya atau kelompok lain, kelompok manusia dan kelompok manusia lainnya, untuk memenuhi hajat, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya, sesuai fungsi masing-masing. Manusia dan kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing secara relatif memiliki batas dan ikatan kewilayahan dan mengembangkan (unsur-unsur) kebudayaannya, termasuk lembaga-lembaganya seperti organisasi-organisasi sosial beserta peraturan-peraturannya yang tertulis dan tak tertulis.[1]

 Secara umum, Sistem Sosial merupakan kumpulan bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu tujuan di masyarakat, yang terbentuk dari interaksi sosial diantara berbagai individu yang tumbuh dan berkembang serta disepakati bersama oleh para anggota masyarakat.

Menurut Talcot Parson:
Ø  Sistem merupakan interdependensi antar bagian, komponen & prosesyang mengatur hubungan-hubungan tersebut Interdepensi berarti tanpa 1 bagian/komponen maka akan mengalami guncangan. Suatu sistem akan terintegrasi ke suatu equilibrium.
Ø  Teori Sibenertika Parson: sistem sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan.
Ø  Adanya hubungan yang saling keterkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.

Pendekatan Teoritis
Berbicara mengenai sistem sosial, pasti ada sudut pendekatan bagi pembahasan konflik, dan integrasi ditetapkan. Karena suatu sistem itu diciptakan berdasarkan kesepakatan bersama untuk mengatasi berbagai masalah dan menciptakan integrasi di masyarakat. Sudut pendekatan yang perlu menjadi perhatian pertama adalah sudut pendekatan yang menganggap bahwa masyarakat, pada dasarnya, terintegrasi berdasarkan kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, suatu kesepakatan umum yang dapat mengatasi perbedaan-perbedaan dan kepentingan diantara para anggota masyarakat. Ia memandang suatu masyarakat secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk ekuilibrium. Pendekatan ini lebih dikenal dengan fungsional-struktural.

Pendekatan fungsionalisme-struktural yang telah dikembangkan oleh Talcott Parsons, dapat kita kaji melalui anggapan dasarnya, sebagai berikut:
1)      Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
2)      Dengan demikian hubungan saling mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik. 
3)      Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah ekuilibrium yang bersifat dinamis: menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem sebagai akibatnya hanya akan mencapai derajat yang minimal.[2]


Sistem Sosial di Indonesia 
Indonesia dikenal luas sebagai bangsa dengan realitas sosial-budaya yang begitu majemuk. Hubungan sosial-budaya antar masyarakat di Indonesia merupakan produk sejarah yang panjang, yang dari zaman ke zaman mengalami perkenalan dan pergaulan dengan bangsa-bangsa, agama-agama, dan kebudayaan-kebudayaan dunia. Demikian juga, nasionalisme Indonesia, kebangsaan Indonesia pun terbentuk, terbangun dan teruji oleh sejarah panjang, dari hasil interaksi “bangsa Indonesia” dengan bangsa-bangsa, agamaagama, dan kebudayaan-kebudayaan dunia. Pengalaman ini membentuk nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru dalam masyarakat Indonesia. Sebagian nilai-nilai lama hendak ditinggalkan atau diperbaharui, sedangkan nilai-nilai baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan peradaban bangsa pada masa sekarang dan masa mendatang harus senantiasa dipahami, diwujudkan dan diuji dalam pergaulan sosial-budaya.[3] Dengan latar-belakang dan pengalaman sosial-budaya yang begitu majemuk, meninjau gagasan-gagasan tentang sistem sosial-budaya, dalam masyarakat-bangsa Indonesia terdapat sistem-sistem sosial-budaya dan/atau subsistem-subsistem sosial-budaya.

Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua ciri, yaitu secara horizontal dan secara vertikal. Secara horizontal ia ditandai dengan kenyataan adanya banyak perbedaan-perbedaan dalam hal suku bangsa, agama, adat dan kedaerahan. Lalu secara vertikal ditandai dengan perbedaan kelas-kelas sosial atau strata sosial yang cukup tajam. Perbedaan struktur masyarakat Indonesia secara horizontal ini seringkali disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang pertama kali dikenalkan oleh Furnivall untuk mengungkapkan masyarakat Indonesia pada zaman Hindia-Belanda. Menurut Furnivall, masyarakat Indonesia pada zaman Hindia-Belanda, merupakan suatu masyarakat majemuk (Plural Societies), yakni suatu masyakarat yang terdiri dari dua elemen atau lebih yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik.[4] Masyarakat majemuk Indonesia disebut sebagai masyarakat daerah tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai itu memiliki perbedaan ras. Bangsa Belanda sebagai golongan minoritas bertambah banyak pada abad ke-19, sekaligus menjadi penguasa yang memerintahkan sejumlah besar masyarakat Indonesia dimana posisinya sebagai pribumi yang menjadi warga negara kelas tiga di negerinya sendiri. Golongan orang-orang China, berada pada kedudukan kelas menengah diantara kedua golongan tersebut.[5]

Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk ialah tidak adanya kehendak bersama. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari elemen-elemen yang terpisah karena perbedaan ras, dan suku merupakan kumpulan individu-individu yang lebih condong bersifat organis. Dan sebagai individu yang kehidupan sosial mereka tidak utuh. Orang-orang China yang datang ke Indonesia seperti halnya orang-orang Belanda, hanya untuk kepentingan ekonomi. Sementara itu kehidupan orang-orang pribumi tidak utuh seperti halnya orang-orang Belanda dan China yang datang ke Indonesia. bagaimana tidak pada zaman Hindia-Belanda banyak sekali orang-orang Pribumi yang menjadi pelayan atau buruhnya dari orang-orang Belanda dan China. Mereka seperti menjadi pelayan di negeri sendiri, melarat di negeri sendiri. Padahal Indonesia dengan kekayaan alamnya adalah milik orang Indonesia sendiri. Dan secara keseluruhan Masyarakat Indonesia yang tumbuh pada masa Hindia-Belanda, mereka tumbuh didasarkan sistem kasta tanpa ikatan agama. Bangsa Belanda, dan juga bangsa Indonesia melalui agama, ras, suku, adat, kebudayaan dan bahasa mereka masing-masing selalu mempertahankan dan memelihara pola pikiran dan cara hidup mereka masing-masing. Sehingga hasilnya, masyarakat Indonesia tidak memiliki kehendak bersama.

Di dalam kehidupan ekonomi, tidak adanya kehendak bersama yang menemukan pernyataan bahwa tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat. Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat menjadi sumber yang membedakan karakter ekonomi majemuk dari suatu masyarakat majemuk, dengan ekonomi tunggal dari suatu masyarakat yang bersifat homogeneous. Apabila proses ekonomi masyarakat bersifat homogeneous dikendalikan oleh adanya kehendak bersama, maka hubungan-hubungan sosial diantara elemen-elemen masyarakat majemuk sebaliknya semata-mata dibimbing oleh proses ekonomi dengan produksi barang-barang material sebagai tujuan utama daripada kehidupan masyarakat.[6]




Daftar Pustaka


[1] Kistanto, Nurdin. Sistem Sosial-Budaya di Indonesia. Semarang, Universitas Diponegoro. Hlm 5-6



[2] Nasikun. 2010. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta, Rajawali Pers. Hlm 13



[3] Kistanto, Nurdin. Sistem Sosial-Budaya di Indonesia. Semarang, Universitas Diponegoro. Hlm 9



[4] J.S. Furnivall. 1967. Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge, The University Press. Hlm 446-469



[5] Nasikun. 2010. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta, Rajawali Pers. Hlm 37


[6] Ibid., Hlm 38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar