Sistem adalah
bagian-bagian yang bekerja sama dalam satu bentuk untuk mencapai tujuan
tertentu. Sistem
sosial dipahami sebagai “any, especially a relatively persistent, patterning of
social relations across „time-space,‟ understood as reproduced practices”
(Giddens, 1984). Dalam pengertian umum demikian, suatu masyarakat atau
organisasi sosial atau kelompok, di mana dan kapan pun ia berada, merupakan
suatu sistem sosial, yang di dalamnya dapat mengandung subsistem sosial dan
dalam pola sistematik yang sangat beragam.
Dalam faham fungsionalisme (Parsons, 1951) sistem sosial merupakan sistem interaksi yang berlangsung antara 2 (dua) pelaku atau lebih, yang masing-masing mengandung fungsi dalam suatu satuan masyarakat.
Dalam faham fungsionalisme (Parsons, 1951) sistem sosial merupakan sistem interaksi yang berlangsung antara 2 (dua) pelaku atau lebih, yang masing-masing mengandung fungsi dalam suatu satuan masyarakat.
Sistem sosial dapat dipahami sebagai suatu
sistem atau pemolaan dari hubunganhubungan sosial yang terdapat dan berkembang
dalam masyarakat tertentu, sebagai wahana 6 fungsional dalam masyarakat
tersebut. Dalam pengertian umum demikian, suatu masyarakat atau organisasi
sosial atau kelompok, di mana dan kapan pun ia berada, merupakan suatu sistem
sosial, yang di dalamnya dapat mengandung subsistem sosial dan dalam pola
sistematik yang sangat beragam. Sebagai satuan masyarakat, sistem sosial
merupakan sistem yang menjadi wadah bagi totalitas hubungan antara seorang
manusia dan manusia lainnya, manusia dan kelompoknya atau kelompok lain, kelompok
manusia dan kelompok manusia lainnya, untuk memenuhi hajat, mempertahankan dan
mengembangkan hidupnya, sesuai fungsi masing-masing. Manusia dan
kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing secara relatif memiliki batas
dan ikatan kewilayahan dan mengembangkan (unsur-unsur) kebudayaannya, termasuk
lembaga-lembaganya seperti organisasi-organisasi sosial beserta
peraturan-peraturannya yang tertulis dan tak tertulis.[1]
Secara umum, Sistem Sosial merupakan kumpulan
bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu tujuan di
masyarakat, yang terbentuk dari interaksi sosial diantara berbagai individu
yang tumbuh dan berkembang serta disepakati bersama oleh para anggota
masyarakat.
Menurut Talcot Parson:
Ø Sistem merupakan interdependensi antar bagian, komponen & prosesyang mengatur hubungan-hubungan tersebut Interdepensi berarti tanpa 1 bagian/komponen maka akan mengalami guncangan. Suatu sistem akan terintegrasi ke suatu equilibrium.
Ø Teori Sibenertika Parson:
sistem sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan.
Ø Adanya hubungan yang
saling keterkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.
Berbicara mengenai
sistem sosial, pasti ada sudut pendekatan bagi pembahasan konflik, dan
integrasi ditetapkan. Karena suatu sistem itu diciptakan berdasarkan
kesepakatan bersama untuk mengatasi berbagai masalah dan menciptakan integrasi
di masyarakat. Sudut pendekatan yang perlu menjadi perhatian pertama adalah sudut
pendekatan yang menganggap bahwa masyarakat, pada dasarnya, terintegrasi
berdasarkan kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan
tertentu, suatu kesepakatan umum yang dapat mengatasi perbedaan-perbedaan dan
kepentingan diantara para anggota masyarakat. Ia memandang suatu masyarakat
secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk ekuilibrium. Pendekatan
ini lebih dikenal dengan fungsional-struktural.
Pendekatan
fungsionalisme-struktural yang telah dikembangkan oleh Talcott Parsons, dapat
kita kaji melalui anggapan dasarnya, sebagai berikut:
1)
Masyarakat haruslah
dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan
satu sama lain.2) Dengan demikian hubungan saling mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik.
3) Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah ekuilibrium yang bersifat dinamis: menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem sebagai akibatnya hanya akan mencapai derajat yang minimal.[2]
Sistem Sosial di Indonesia
Indonesia dikenal luas sebagai
bangsa dengan realitas sosial-budaya yang begitu majemuk. Hubungan
sosial-budaya antar masyarakat di Indonesia merupakan produk sejarah yang
panjang, yang dari zaman ke zaman mengalami perkenalan dan pergaulan dengan
bangsa-bangsa, agama-agama, dan kebudayaan-kebudayaan dunia. Demikian juga, nasionalisme
Indonesia, kebangsaan Indonesia pun terbentuk, terbangun dan teruji oleh
sejarah panjang, dari hasil interaksi “bangsa Indonesia” dengan bangsa-bangsa,
agamaagama, dan kebudayaan-kebudayaan dunia. Pengalaman ini membentuk
nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru dalam masyarakat Indonesia. Sebagian
nilai-nilai lama hendak ditinggalkan atau diperbaharui, sedangkan nilai-nilai
baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan peradaban bangsa pada masa
sekarang dan masa mendatang harus senantiasa dipahami, diwujudkan dan diuji
dalam pergaulan sosial-budaya.[3]
Dengan latar-belakang dan
pengalaman sosial-budaya yang begitu majemuk, meninjau gagasan-gagasan tentang
sistem sosial-budaya, dalam masyarakat-bangsa Indonesia terdapat sistem-sistem
sosial-budaya dan/atau subsistem-subsistem sosial-budaya.
Struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh dua ciri, yaitu secara horizontal dan secara
vertikal. Secara horizontal ia ditandai dengan kenyataan adanya banyak
perbedaan-perbedaan dalam hal suku bangsa, agama, adat dan kedaerahan. Lalu
secara vertikal ditandai dengan perbedaan kelas-kelas sosial atau strata sosial
yang cukup tajam. Perbedaan struktur masyarakat Indonesia secara horizontal ini
seringkali disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk,
suatu istilah yang pertama kali dikenalkan oleh Furnivall untuk mengungkapkan
masyarakat Indonesia pada zaman Hindia-Belanda. Menurut Furnivall, masyarakat
Indonesia pada zaman Hindia-Belanda, merupakan suatu masyarakat majemuk (Plural
Societies), yakni suatu masyakarat yang terdiri dari dua elemen atau lebih yang
hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu
kesatuan politik.[4]
Masyarakat majemuk Indonesia disebut sebagai masyarakat daerah tropis dimana
mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai itu memiliki perbedaan ras.
Bangsa Belanda sebagai golongan minoritas bertambah banyak pada abad ke-19,
sekaligus menjadi penguasa yang memerintahkan sejumlah besar masyarakat
Indonesia dimana posisinya sebagai pribumi yang menjadi warga negara kelas tiga
di negerinya sendiri. Golongan orang-orang China, berada pada kedudukan kelas
menengah diantara kedua golongan tersebut.[5]
Di dalam kehidupan
politik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk
ialah tidak adanya kehendak bersama. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari
elemen-elemen yang terpisah karena perbedaan ras, dan suku merupakan kumpulan
individu-individu yang lebih condong bersifat organis. Dan sebagai individu
yang kehidupan sosial mereka tidak utuh. Orang-orang China yang datang ke
Indonesia seperti halnya orang-orang Belanda, hanya untuk kepentingan ekonomi.
Sementara itu kehidupan orang-orang pribumi tidak utuh seperti halnya
orang-orang Belanda dan China yang datang ke Indonesia. bagaimana tidak pada
zaman Hindia-Belanda banyak sekali orang-orang Pribumi yang menjadi pelayan
atau buruhnya dari orang-orang Belanda dan China. Mereka seperti menjadi
pelayan di negeri sendiri, melarat di negeri sendiri. Padahal Indonesia dengan
kekayaan alamnya adalah milik orang Indonesia sendiri. Dan secara keseluruhan
Masyarakat Indonesia yang tumbuh pada masa Hindia-Belanda, mereka tumbuh
didasarkan sistem kasta tanpa ikatan agama. Bangsa Belanda, dan juga bangsa
Indonesia melalui agama, ras, suku, adat, kebudayaan dan bahasa mereka
masing-masing selalu mempertahankan dan memelihara pola pikiran dan cara hidup
mereka masing-masing. Sehingga hasilnya, masyarakat Indonesia tidak memiliki
kehendak bersama.
Di dalam
kehidupan ekonomi, tidak adanya kehendak bersama yang menemukan pernyataan
bahwa tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen
masyarakat. Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua
elemen masyarakat menjadi sumber yang membedakan karakter ekonomi majemuk dari
suatu masyarakat majemuk, dengan ekonomi tunggal dari suatu masyarakat yang
bersifat homogeneous. Apabila proses ekonomi masyarakat bersifat homogeneous
dikendalikan oleh adanya kehendak bersama, maka hubungan-hubungan sosial
diantara elemen-elemen masyarakat majemuk sebaliknya semata-mata dibimbing oleh
proses ekonomi dengan produksi barang-barang material sebagai tujuan utama
daripada kehidupan masyarakat.[6]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar