Di Barat abad pertengahan segala pengajaran
diselenggarakan oleh Gereja Katolik. Pengajaran itu diberika oleh rahib-rahib
dan bersifat keagamaan. Setelah pembentukan gereja baru oleh Luther dan Calvin,
maka di beberapa negeri pengajaran itu dipengaruhi oleh pendeta yang tidak
tergolong dalam Gereja Katolik, tetapi tujuan pengajaran itu tetap tidak
berubah, yaitu memberikan pendidikan agaman. Tujuan pengajaran itu terutama
mendidik calon-calon guru agama untuk sekolah-sekolah agama. Sebagian besar
anak-anak rakyat biasa tidak mendapat pengajaran dan anak-anak yang dapat
pengajaran diberi pelajaran menghapalkan perintah-perintah agama dan doa.[1]
Semakin berkembangnya dunia
perdagangan, industri, dan pelayaran. Semakin bertambanya kebutuhan-kebutuhan
akan sumber daya manusia yang menguasai pengetahuan yang bersifat duniawi.
Karena perkembangan ini menimbulkan perubahan dalam keadaan itu. Namun pimpinan
gereja tidak setuju dengan perkembangan tersebut, maka terpaksa pemerintahan,
yaitu pemerintahan kota dan negara yang mencampuri urusan pengajaran.[2]
Dengan demikian,
pengajaran-pengajaran yang diberikan oleh gereja tentang keagamaan menjadi
berkurang artinya, dan pengajaran-pengajaran yang diberi pemerintah tentang
keduniaan menjadi bertambah naik artinya. Karena pelajaran-pelajaran yang
bersifat keduniaan memberikan pelajaran elementer yang praktis dalam kehidupan
sehari-hari. Seperti membaca, menulis, dan berhitung merupakan mata pelajaran
yang diajarkan di sekolah dasar. Sedangkan, pengajaran yang diberikan oleh
gereja hanya bersifat tentang keagamaan di sekolah-sekolah agama, ialah
menghapalkan pengetahuan yang sederhana tentang agama dan bernyanyi, karena bernyanyi
merupakan pelajaran yang penting untuk sembahyang di gereja.[3]
Bertambahnya pengetahuan teknik,
timbulah berbagai ilmu baru, seperti: ilmu bumi, sejarah, biologi dan kemudian
ternyata, sekolah rendah memerlukan persiapan tentang pengetahuan baru itu.
Sehingga pelajaran-pelajaran itu dicantumkan ke dalan daftar mata pelajaran
sekolah rendah. Dengan demikian, ilmu pengetahuan semakin lama semakin bertambah. Semakin luas
juga perdagangan dan industri di dunia semakin banyak pula orang-orang yang dibutuhkan
oleh perusahaan-perusahaan untuk menduduki jabatan-jabatan yang ada. Mereka itu
harus diberikan pengajaran-pengajaran yang dapat digunakan dalam
jabatan-jabatan tersebut. Akibatnya pengajaran itu diperluas, dan semakin lama
semakin banyak mempunyai murid. Golongan-golongan rakyat yang turut mendapatkan pengajaran semakin
lama semakin banyak, dan di beberapa negeri malah diadakan peraturan wajib
belajar.[4]
Perkembangan politik, terutama
revolusi Perancis menyebabkan negara-negara itu mengadakan peraturan wajib
belajar. Disini pengajaran itu harus diberikan tanpa memungut biaya. Dengan
kata lain pengajaran ini dimulai dari proses pembelajaran, hingga
sekolah-sekolah dibiayai dan dipelihara oleh negara. Semua murid-murid harus
diberikan pelajaran membaca, menulis, menghitung, bahasa, geografi, pengetahuan
alam, dan pengetahuan tentang hak dan kewajiban dalam berwarga negara. Perkembangan
pertukangan dan perusahaan juga memerlukan sekolah-sekolah yang dapat
memberikan pengajaran yang relavan dalam perkembangannya, maka senantiasa harus
diperbanyak.[5]
Kaum wanita juga terlibat dalam
dunia perburuhan dan pemilihan umum, perlu diperhatikan perluasan pengajaran
terhadap anak-anak perempuan. Maka diadakan sekolah-sekolah khusus untuk
anak-anak perempuan, dan sekolah campuran untuk anak laki-laki dan perempuan.
Agar anak perempuan memiliki kesetaraan dan kesempatan yang sama dalam
pendidikan. Dengan demikian, pengajaran-pengajaran ini jadi memiliki sistem
dalam masa kini yaitu sekolah rendah atau sekolah dasar, sekolah menengah
pertama, sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi yang semuanya menyambung.
Karena pengetahuan senantiasa bertambah dan masyarakat juga bertambah banyak.
Maka anak-anak perlu dipersiapkan pengajaran yang lebih intensif dan lebih lagi
untuk jabatan-jabatan mereka kelak di masyarakat.[6]
Dulu pengajaran yang diberikan cukup beberapa tahun saja di sekolah
rendah. Namun, lambat laun tumbuh menjadi wajib belajar 7 tahun bahkan lebih.
Di beberapa negara ada yang mewajibkan sekolah sampai umur 16 tahun, bahkan
sampai umur 18 tahun. Di Indonesia sendiri wajib belajar selama 9 tahun.
Akibatnya semakin lama dan semakin banyak pendidikan atau pengajaran yang
dibutuhkan tak dapat dibiayai lagi oleh sebagian penduduk bahkan negara.
Walaupun sekolah rendah tidak dipungut biaya, tapi disini orang-orang berusaha
juga agar pengajaran menengah agar tidak dipungut biaya dan perguruan tinggi
mendapatkan beasiswa.[7]
Mau tidak mau harus diakui, bahwa perkembangan pengajaran di beberapa
negeri sudah mengalami kemajuan dalam pendidikan yang demokratis. Hal ini bisa
dilihat sudah banyak golongan yang tidak lagi tertinggal dalam pendidikan dan
mendapatkan kesempatan pendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan zaman dulu.
Walaupun pendidikan masih sukar didapatkan oleh orang-orang yang sangat
terpinggirkan, dan dalam praktek anak-anak orang kaya lebih banyak yang
mendapatkan kesempatan dalam pendidikan.
Dari segi metode, dulu pendidikan atau pengajaran diberikan secara
individual atau bersifat perseorangan. Dimana para tenaga pengajar menyesuaikan
diri untuk menerapkan suatu metode pengajaran kepada murid dengan memahami
kelebihan dan kekurangan sang murid. Namun, semakin bertambah luasnya
pengajaran dalam masyarakat, membuat orang-orang berusaha mencari jalan keluar
dengan menerapkan pengajaran kelas. Pengajaran kelas ini memiliki keburukan
terbanyak dibanding dengan kebaikannya. Keburukannya adalah murid-murid terlalu
disamaratakan dalam proses belajar, sehingga murid dituntut untuk menyesuaikan
diri dengan pengajaran kelas. Walaupun mereka berbeda kesanggupannya.[8]
Pengajaran itu awal mulanya sangat formalistic: anak-anak dibuat tunduk kepada
guru dan menerima semua ajaran yang diberikan oleh gurunya mentah-mentah.
Sehingga terkesan dogmatis. Hal ini juga berlaku pada perguruan tinggi klasik.
Perkembangan dari abad kea bad, bukan hal-hal yang gaib yang mendapat
perhatian penuh, tetapi hal-hal yang sewajarnya. Bukan kepercayaan melainkan
pikiranlah yang menentukan hal konkret. Bukan perasaan tetapi otak, budilah
yang terpenting. Semuanya ini memberi pengaruh besar dalam perkembangan
pengajaran. Dalam pengajaran semakin lama, semakin berkembang metode induktif.
Pikiran, pengamatan, serta penyelidikan sangat diutamakan.[9]
Dalam masyarakat modern, faktor yang terpenting ialah produksi. Untuk
meningkatkan dan memperbaiki produksi harus memperhatikan proses kerja, cara
kerja, dan para pekerja. Tidaklah mengherankan apabila kerja itu semakin lama semakin digunakan dalam asas pendidikan.
Jerman merupakan salah satu negara yang mendirikan sekolah kerja.[10]
Maksud dari sekolah kerja ini agar anak-anak tidak terpaku dengan pengetahuan
yang ada di buku. Mereka belajar dengan menggunakan perkakas-perkakas yang
sudah di fasilitasi oleh sekolah untuk memikirkan suatu barang yang dapat mereka
buat. Pekerjaan tangan lebih ditekankan disini. Membuat mereka bebas berpikir
dalam menyelesaikan masalahnya. Dari proses ini pekerjaan yang baik juga harus
menggunakan pikiran.
Dan akhirnya dengan cara ini, hubungan antara golongan pekerja otak
dengan golongan pekerja tangan tidak terpisah-pisah, antara teori dan praktek.
Dengan demikian, sekolah kerja dijadikan sebagai alat menuju cita-cita dan
praktek demokrasi. Sekolah yang sejak dulu sangat terpisah dengan masalah yang
ada dikehidupan sehari-hari. Lebih dihubungkan dengan kehidupan yang
sebenarnya. Hal ini menimbulkan pula perubahan bahan-bahan pembelajarannya.[11]
Bahan-bahan pembelajaran yang biasa diajarkan sekolah pada jam pelajaran tetap
dan terpisah dari pelajaran yang lainnya, tak dapat memberikan pengertian
kepada anak dalam kenyataan yang ada. Dengan bahan pembelajaran ini, anak-anak
meninggalkan cara formalistis seperti menghapal. Karena sekolah modern
bertujuan untuk membuat sang murid berpikir menyelesaikan masalahnya. Salah
satu aliran dalam Filsafat Pendidikan yang menurut saya demokratis, ialah:
A. Filsafat
Pendidikan Progresivisme
Progresivisme berasal dari kata progressive,
merupakan sifat alamiah, kodrati, yang berarti perubahan. Perubahan berarti
sesuatu yang baru, sungguh-sungguh merupakan keadaan yang nyata dan bukan
sekedar pengertian atas realitas. Filsafat ini berpandangan bahwa pengetahuan
yang benar pada masa kini mungkin tidak benar pada masa yang akan datang. Untuk
memecahkan masalah-masalah, para siswa dibekali dengan strategi-strategi
pemecahan masalah yang relevan pada masa kini. Melalui analisis diri dan
refleksi yang berkelanjutan, individu dapat mengidentifikasi nilai-nilai yang
tepat dalam waktu yang dekat.[12]
Sekolah merupakan masyarakat yang demokratis dalam ukuran kecil, disini
siswa akan belajar dan praktek keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup yang
demokrasi. Dengan pengalamannya, siswa akan siap untuk menghadapi perubahan
yang ada di dunia. Karena realitas yang terus-menerus berubah, maka kaum
progresif tidak memusatkan perhatiannya pada Body of Knowledge. Sama seperti halnya dengan pandangan
perenialisme dan esensialisme. Kaum progresif lebih menekankan “bagaimana
berpikir”, bukan “apa yang dipikirkan”. Progresivisme berpandangan bahwa kasih
sayang dan persaudaraan lebih berharga dalam pendidikan daripada persaingan dan usaha pribadi. Karena
itu, pendidikan adalah rekonstruksi pengalaman, yang mengarah pada rekonstruksi
manusia dalam kehidupan sosial. Persaingan tidak ditolak, namun persaingan
tersebut harus mendorong pertumbuhan pribadi.[13]
Pendidikan akan dikatakan demokrasi apabila, pendidikan tersebut dapat di-diferensiasi-kan dengan sedapat-dapatnya sesuai dengan kemampuan, minat, dan bakat anak-anak, serta memberikan kebebasan kepada anak untuk berpikir mengembangkan pendapatnya dalam menyelesaikan suatu persoalan. Disini guru hanyalah sebagai pemeberi fasilitas dan membantu anak untuk memberi pencerahan apabila anak tersebut mengalami kebuntuan. Dengan hal ini pendidikan yang diberikan akan terasa sangat adil, dan tidak memaksa secara otoriter. Karena kemampuan setiap anak berbeda-beda.
[1] Rahman, Taufiq. 2018. Pengantar Filsafat Sosial. Lekkas,
Bandung. Hlm 316-317
[2] Ibid., hlm 317
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm 318
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm 319
[8] Ibid., hlm 320
[9] Ibid., 322-323
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm 324
[12] Sunarya, Yaya. 2012. Filsafat Pendidikan. Arfino Raya,
Bandung. Hlm 66-67
[13] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar