Oleh:
Alam Lestari
Bandung, 18 Agustus 2020.
Bandung, saya banyak belajar selama berada disini. Dari kota ini saya
berhasil membangun kesadaran politik terhadap diri sendiri yang sebelumnya sangat
apatis, dan konservatif jika dihadapkan dengan isu sosial yang ada. Bandung
merupakan kota indah dan menyenangkan, banyak peninggalan bersejarah mulai dari
bangunan-bangunan masa kolonial Hindia-Belanda hingga benda-benda sejarah
lainnya yang di museumkan. Akan tetapi, seindah apapun Bandung tentunya, tidak
luput dari setiap permasalahan sosial-politik yang hingga hari ini masih
menjadi PR besar untuk Pemerintah Kota Bandung beserta alat-alatnya.
Bandung, pada tanggal 10 Desember 2019, dinobatkan sebagai Kota Peduli Hak
Asasi Manusia oleh Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Namun, hal ini
jika kita sadari pada realitasnya berbanding terbalik dengan esensi penghargaan
yang diterima. Faktanya, sebelum dan setelah Bandung mendapatkan penghargaan
tersebut, telah terjadi banyak pelanggaran HAM di kota ini. Sebelum dinobatkan,
mulai dari pemberangusan diskusi tentang Papua, represifitas aparat dan ormas
reaksioner terhadap massa demonstrasi, penangkapan sewenang-wenang oleh aparat terhadap
massa aksi dan lain-lain, dan setelah dinobatkan telah terjadi penggusuran
terhadap rumah warga Tamansari RW 11 yang benar-benar menyalahi hukum dan cacat
prosedur, hingga penangkapan dan pemukulan oleh aparat kepolisian setempat
terhadap massa yang akan berdemo di Gd. DPRD Jawa Barat pada tanggal 16 Juli
2020 lalu.
Hal-hal yang saya sebutkan sebelumnya merupakan sedikit contoh
pelanggaran HAM yang pernah saya dan kawan-kawan alami selama berada di
Bandung. Timbul pertanyaan dalam benak saya, mengapa sulit rasanya untuk kita
berbicara tentang Papua di negara ini, khususnya di Bandung. Saya akan
menceritakan sedikit pengalaman saya, dan mohon maaf apabila tulisan ini kurang
baik karena saya tidak berpengalaman dalam menulis.
Bandung, 01 Juli 2019, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP)
bersama dengan kawan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan aksi memperingati Hari
Proklamasi Kemerdekaan West Papua di depan Gd. Merdeka. Dimana situasi pada
saat itu berlangsung sangat tegang, langsung berhadapan dan mendapatkan
tindakan represif dari ormas reaksioner. Aparat kepolisian memperketat
penjagaan terhadap para demonstran untuk menghindari bentrokan antara ormas dan
demonstran. massa aksi tetap menjalankan aksi dengan orasi dan berkampanye
menunjukan poster tuntutannya.
Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris,
Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas)
Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai
“Mavik” “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat. Proklamasi ini
dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem sebagai Presiden Papua Barat, dan
didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat),
Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway
sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL ), dan Louis Wajoi
sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL Republik Papua Barat. Setelah wilayah Papua
Barat dimasukan secara sepihak lewat manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat oleh
Indonesia pada tahun 1969, wilayah ini diduduki layaknya sebuah wilayah
jajahan. Indonesia mulai memperketat wilayah ini untuk mematikan gerakan
kemerdekaan Papua Barat yang dilancarkan oleh Organisasi Papua Merdeka
(OPM) lewat perjuangan diplomasi dan gerilya. Diperingatinya hari
bersejarah ini untuk menuntut Indonesia memberikan Hak Menentukan Nasib Sendiri
kepada Bangsa West Papua.[1]
Disini saya melihat bahwa, ormas yang merepresif para demonstran
tersebut tidak mengerti apa itu demokrasi, apa itu hak menyampaikan pendapat
yang sudah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945. Mereka mengaku Pancasilais
dan Nasionalis, tapi tidak memiliki pemahaman atas keduanya. Kami berusaha
untuk menyampaikan aspirasi melalui aksi kampanye, agar semua orang tahu jika
rakyat West Papua menginginkan kemerdekaan dan lepas dari kolonialisme
Indonesia.
Lalu, dalam alinea pertama UUD 1945 berbunyi “bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu iala hak segala bangsa, maka oleh sebab itu penjajahan diatas
dunia harus dihapuskan”. Akan tetapi, menurut saya UUD 1945 sudah tidak
memiliki nilai dan fungsi ketika pembukaannya saja tidak diimplementasikan oleh
negara. Dengan kejadian seperti ini, kaum chauvinis mencoba membungkam suara
rakyat West Papua.
Tanggal 06 Juli 2019, FRI-WP dan AMP Bandung kembali turun ke jalan.
Kali ini, aksi dilakukan di Jalan Asia-Afrika samping Globe, memperingati 21
tahun Peristiwa Biak Berdarah. Peristiwa ini merupakan peristiwa berdarah yang
telah meninggalkan pengalaman psikologis yang buruk bagi rakyat Papua Barat.
Pada 6 Juli 1998, terjadi pembantaian terhadap manusia Papua di kota Biak, yang
disebut Peristiwa Biak Berdarah. Peristiwa berdarah akibat tindakan aparat
negara yang berlebihan terhadap rakyat yang mengibarkan bendera Bintang Kejora
secara damai itu telah mengorbankan 230 orang. 8 orang meninggal; 3 orang
hilang; 4 orang luka berat dan dievakuasi ke Makasar; 33 orang luka biasa; 150
orang ditahan sewenang-wenang & mengalami penyiksaan; dan 32 mayat
misterius ditemukan hingga terdampar di perairan Papua New Guinewa (PNG).[2]
Dalam aksi ini, lagi-lagi kami mendapatkan aksi tandingan dari ormas reaksioner
yang berusaha melakukan kekerasan terhadap demonstran, dan meneriaki kami
“anjing”.
Peristiwa Biak Berdarah merupakan pelanggaran HAM berat yang dilakukan
oleh kolonial Indonesia. Kasus ini hingga sekarang belum terselesaikan, karena
para pelaku dan dalang dibalik pembantaian ini masih berkeliaran bebas tanpa
diadili. Saya sebagai rakyat Indonesia turut berduka atas kejadian ini,
mengecam segala bentuk kekerasan yang pernah dilakukan TNI kepada rakyat West
Papua. Ormas-ormas yang selalu mengaku dirinya Pancasilais itu, jika mereka
memang paham betul nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila,
seharusnya mereka turut bersimpati dan mendukung setiap aksi protes yang dilakukan
oleh rakyat Papua kepada pemerintah Indonesia. Bukannya me-Tuhan-kan ideologi,
seakan-akan ada agama baru di negara ini yakni Pancasila. Mereka menganggap
Pancasila sebagai ideologi absolut, harga mati, dsb. Dengan ini kita bisa
menyadari bahwa telah terjadi krisis nilai di Kota Bandung.
Tanggal 14 Agustus 2019, Lembaga Pers Mahasiswa Daunjati ISBI hendak
mengadakan Diskusi Publik “New York Agreement dan Situasi Nduga” yang berlokasi
di dalam kampus ISBI Bandung. Sebelum diskusi tersebut dimulai, ormas FKPPI,
polisi, dan tentara tiba-tiba datang untuk membubarkan acara tersebut. Polisi
mencoba menekan melalui rektor untuk menghentikan kegiatan agar tidak jadi dilaksanakan.
Alhsasil, beberapa anggota LPM Daunjati dipanggil ke rektorat dan mereka disana
diintimidasi oleh pihak yang hadir ketika itu, termasuk polisi.
Diskusi ini harus kita lihat
sebagai kebebasan akademik alih-alih mengganggu keamanan Negara. Kebebasan akademik
berarti menghendaki pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika, dengan
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
hak asasi. Prinsip-prinsip ini juga dilindungi oleh UUD 1945 Amandemen dan UU
PT No.12 tahun 2012 yang telah mengatur hak-hak yang disebutkan. Kebebasan
akademik, melakukan diskusi-diskusi ilmiah pun sudah diatur dalam
undang-undang. Tapi rasanya itu semua hanya hiasan belaka, tidak sepenuhnya
dijalani. Mendiskusikan New York Agreement, kita akan mendapatkan kebenaran
bahwa ini merupakan “Perjanjian Tanpa Tuan”, dan illegal. Mereka yang berada
dalam perundingan itu, tidak satupun orang asli Papua dilibatkan.
Penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York) antara
Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht
Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962.[3]
Beberapa hal pokok dalam perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah
sebagai berikut:
1.
New York
Agreement (Perjanjin New York) adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik
secara yuridis maupun moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status
tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah
melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
2.
Sejak 1
Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive Administratins
(UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat menyerakan kekuasaanya
kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan
militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik
dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.[4]
Tanggal 01 Februari 2020. Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan
Nasional Kolektif Bandung (PEMBEBASAN Bandung) akan mengadakan diskusi publik
tentang “Tahanan Politik Papua & DO Mahasiswa Ternate” yang berlokasi di
suatu Kedai Kopi, Buah Batu. Sekali
lagi, acara yang belum sempat dimulai, pemilik kedai didatangi oleh dua orang
anggota ormas, satu orang intel, dan pak RT. Mereka menanyakan perihal diskusi,
dan meminta acara tersebut dibatalkan. Bahkan, dua anggota ormas tersebut
mengancam jika acara tersebut tetap dilaksanakan, maka mereka akan membubarkan
paksa. Lalu ancaman datang dari pak RT, apabila diskusi tetap dilaksanakan izin
usaha kedai kopi tersebut akan dicabut.
Dari beberapa kejadian sebelumnya, sepertinya membicarakan Papua dimana
pun kapan pun adalah sesuatu yang diharamkan oleh Pemerintah Indonesia. Indonesia
yang sebagai negara hukum dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, pada
kenyataannya tidak dapat melindungi hak-hak demokrasi warganya. Dengan alat
negara yaitu TNI/Polri, pemerintah membungkam dan memberangus setiap kegiatan
yang berbau Papua. Dan ini mengindikasikan demokrasi di negara ini sudah mati.
Sebagai contoh empat kawan-kawan Mahasiswa Universitas Khairun Ternate yang di
Drop Out oleh rektornya yang fasis karena terlibat dalam aksi damai solidaritas
untuk West Papua yang menjadi korban kolonialisme Indonesia.
Setelah peristiwa rasisme di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya
(16/08/2019), para aktivis pro-demokrasi baik dari Indonesia seperti Surya Anta
Papua banyak yang ditangkap diberbagai daerah. Penangkapan mereka disebut-sebut
karena telah berbuat makar terhadap pemerintah. Mereka dianggap sebagai provokator,
dan akhirnya ditahan oleh pemerintah dengan pasal 106 KUHP (pasal makar). Umumnya,
mereka ditahan karena mengorganisir dan terlibat aksi-aksi demonstrasi yang
memprotes ujaran dan tindakan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua di
Surabaya—kejadian yang dalang dan pelakunya tidak diusut secara serius oleh
kepolisian Indonesia pada 16-17 Agustus 2019.
Penangkapan dan penahanan para aktivis Papua tersebut jelas merupakan
gejala penurunan kualitas demokrasi di Indonesia, khususnya pada aspek
kebebasan berpendapat dan berekspresi. Bahkan, dalam beberapa kasus seperti
penahanan Surya Anta, dkk. polisi mempersulit proses pendampingan pengacara.
Banyak ahli hukum menyebut bahwa penerapan pasal 106 KUHP yang
disangkakan harus memuat unsur aanslag (serangan fisik). Sedangkan para aktivis
tersebut di atas mengekspresikan aspirasi politiknya secara damai tanpa
kekerasan. Sekalipun aspirasi yang mereka suarakan adalah kemerdekaan Papua,
selama disampaikan secara damai, tidak bias dikenai pasal tersebut. Karena itu,
Amnesty International Indonesia menyebut para tahanan sebagai “tahanan hati
nurani yang dipenjara hanya karena mengungkapkan pendapat mereka dengan damai.”
Melalui surat yang ditujukan pada Presiden Jokowi, Amnesty International
Indonesia meminta agar presiden membebaskan para tapol itu tanpa syarat.
Pemerintah Indonesia selalu melakukan pendekatan militeristik terhadap
rakyat Papua dan tidak sedikit dari kawan-kawan Papua, perempuan Papua,
Mama-mama Papua menolak keras keberadaan TNI/Polri di Tanah Papua. Karena
keberadaan alat negara ini hanya untuk melindungi korporasi-korporasi yang ada
di Tanah Papua agar tidak disabotase oleh kelompok bersenjata TPN-PB. Mulai
perusahaan tambang seperti PT. Freeport hingga perkebunan-perkebunan sawit
seperti PT. Kumho Abadi Cemerlang. Sawit Watch
menyebutkan luasan perekebunan kelapa sawit di Papua saat ini mencapai
958.094,2 hektar dengan 79 perusahan perkebunan. Besarnya angka luasan yang ada
saat ini tak menutup kemungkinan akan terus bertambah di tahun mendatang, sebab
luas hutan Papua tergolong besar.[5]
Hal yang harus kita sadari adalah dampak yang terjadi
akibat dari perkebunan kelapa sawit yang masuk di wilayah Papua, mulai dari
konflik pertanahan, hilangnya mata pencaharian masyarakat adat, kriminalisasi
oleh perusahan kepada masyarakat, dampak terhadap lingkungan berupa banjir atau
kebakaran hutan dan lahan sudah menjadi bukti yang dapat dilihat diberbagai
media saat ini. Bahkan pembukaan tambang emas Freeport saja telah menggusur
ratusan masyarakat adat yang sejak dari dulu tinggal dikawasan tersebut jauh
sebelum Indonesia merdeka. Masyarakat adat Amungme sebagai penghuni asli
kawasan tersebut, mendapatkan tindakan kekerasan hingga pembunuhan oleh TNI
yang ketika itu sedang gencar operasi militer.
Banyak sekali warga Papua Barat yang masih
menggantungkan hidupnya kepada hutan adat, karena bagi mereka hutan-hutan itu
tidak hanya keramat tapi juga sebagai penunjang ekosistem dalam kehidupan
mereka. Bayangkan jika hutan mereka dialih fungsikan menjadi perkebunan sawit
oleh korporasi, hal itu akan merusak dan memusnahkan kehidupan flora dan fauna
yang ada di hutan tersebut. Kita tahu bahwa Pohon Kelapa Sawit tidak dapat
menyerap panas sinar matahari, sehingga akan membuat permukaan bumi di daerah
tersebut menjadi gersang.
Sumber daya alam yang terkandung di Tanah Papua adalah
alasan bagi Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat untuk terus mengeksploitasinya.
Selama ini Indonesia hidup dari hasil kekayaan alam Papua Barat, para
kapitalis-birokrat mengambil nilai lebih yang sangat banyak dari masyarakat
Papua. Namun, balasan yang diterima masyarakat West Papua hari ini adalah
kekerasan dan pembunuhan. Masyarakat West Papua dialienasikan dari faktor
produksinya sendiri, hak-hak mereka dirampas oleh kolonialisme Indonesia.
Buktinya, korban kekerasan dan pembunuhan sampai saat ini masih ada saja yang
berjatuhan akibat keserakahan kolonial Indonesia.
Agar bisa menguasai kekayaan alam Papua Barat, Indonesia selalu
menggunakan pendekatan militeristik. Hal ini sudah dilakukan sejak tahun 1961,
dimana Soekarno memerintahkan kepada salah satunya Mayjen Soeharto untuk
melaksanakan operasi militer “TRIKORA”. Memang pada saat itu niat Soekarno
adalah untuk melepaskan Papua Barat dari belenggu colonial Belanda. Tapi pada
akhirnya, selama masa peralihan penyerahan wilayah Papua Barat dari Belanda ke
Indonesia melalui UNTEA telah terjadi banyak operasi militer, dengan tujuan mengintimidasi
dan memanipulasi psikis warga Papua. Agar nantinya ketika PEPERA mereka mau
bergabung dengan Indonesia, dan ini berarti adanya pemaksaan dengan kekerasan
yang dilakukan oleh tentara Indonesia.
Dan pada akhirnya pun, ketika PEPERA berlangsung hanya sekitar 1000
suara yang diambil, itu pun sebelumnya para pemilik hak suara telah di setting oleh militer Indonesia agar
memilih untuk bergabung dengan NKRI pada 1969. Mereka mengalami tekanan dan
ancaman dari militer, karena jika tidak bergabung dengan Indonesia mereka akan
dibunuh. Sungguh kejamnya militer Indonesia dibawah rezim Orba ketika itu.
Lalu masyarakat Papua Barat hari ini, banyak yang menginginkan
referendum kembali untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa yang
merdeka. Karena selama Papua Barat bergabung dengan Indonesia, mereka merasa
dikhianati dan dijajah oleh Indonesia. Tapi disaat mereka menuntut referendum
dan menuntut Hak Menentukan Nasibnya
Sendiri sebagai bangsa yang merdeka. lagi-lagi apa yang dilakukan Indonesia
adalah mengerahkan apparat TNI/Polri untuk membungkam rakyat West Papua yang
bersuara. Ntah sampai kapan hal ini akan terus terjadi pada Bangsa Papua Barat,
yang pasti saya dan pembaca yang sadar akan ketertindasan Bangsa West Papua
oleh kolonial Indonesia harus turut menyuarakan apa yang hari ini rakyat West
Papua inginkan. Terus lancarkan protes melalui sosial media ataupun aksi
solidaritas kepada pemerintah Indonesia untuk memberika Hak Menentukan Nasib
Sendiri bagi Bangsa West Papua. Sekian dan terimkasih.
[1] https://sejarawestpapua.wordpress.com/2013/11/27/sejarah-papua-isi-proklamasi-1-juli-1971/. 17/08/2020, pukul 09.20 wib.
[2]
Elsham. 1999. Laporan Pelanggaran HAM di
Biak. Jayapura, Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia.
[3] https://www.kompasiana.com/pasemalokon/55d04c058823bdd606cf586a/proses-ilegal-perjanjian-new-york-agreement-15-agustus-1962-dan-pentuan-pendapat-rakyat-pepera-1969?page=all. 18/08/2020, pukul 09.53 wib.
[4]
Ibid.
[5] https://kabarpapua.co/kini-luas-perkebunan-sawit-di-papua-958-0942-hektar/. 18/08/2020, pukul 10.06 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar