Kamis, 20 Agustus 2020

DARI BANDUNG, SAYA BERSUARA UNTUK WEST PAPUA

Oleh: Alam Lestari

Bandung, 18 Agustus 2020.

Bandung, saya banyak belajar selama berada disini. Dari kota ini saya berhasil membangun kesadaran politik terhadap diri sendiri yang sebelumnya sangat apatis, dan konservatif jika dihadapkan dengan isu sosial yang ada. Bandung merupakan kota indah dan menyenangkan, banyak peninggalan bersejarah mulai dari bangunan-bangunan masa kolonial Hindia-Belanda hingga benda-benda sejarah lainnya yang di museumkan. Akan tetapi, seindah apapun Bandung tentunya, tidak luput dari setiap permasalahan sosial-politik yang hingga hari ini masih menjadi PR besar untuk Pemerintah Kota Bandung beserta alat-alatnya.

Bandung, pada tanggal 10 Desember 2019, dinobatkan sebagai Kota Peduli Hak Asasi Manusia oleh Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Namun, hal ini jika kita sadari pada realitasnya berbanding terbalik dengan esensi penghargaan yang diterima. Faktanya, sebelum dan setelah Bandung mendapatkan penghargaan tersebut, telah terjadi banyak pelanggaran HAM di kota ini. Sebelum dinobatkan, mulai dari pemberangusan diskusi tentang Papua, represifitas aparat dan ormas reaksioner terhadap massa demonstrasi, penangkapan sewenang-wenang oleh aparat terhadap massa aksi dan lain-lain, dan setelah dinobatkan telah terjadi penggusuran terhadap rumah warga Tamansari RW 11 yang benar-benar menyalahi hukum dan cacat prosedur, hingga penangkapan dan pemukulan oleh aparat kepolisian setempat terhadap massa yang akan berdemo di Gd. DPRD Jawa Barat pada tanggal 16 Juli 2020 lalu.

Hal-hal yang saya sebutkan sebelumnya merupakan sedikit contoh pelanggaran HAM yang pernah saya dan kawan-kawan alami selama berada di Bandung. Timbul pertanyaan dalam benak saya, mengapa sulit rasanya untuk kita berbicara tentang Papua di negara ini, khususnya di Bandung. Saya akan menceritakan sedikit pengalaman saya, dan mohon maaf apabila tulisan ini kurang baik karena saya tidak berpengalaman dalam menulis.

Bandung, 01 Juli 2019, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) bersama dengan kawan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan aksi memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan West Papua di depan Gd. Merdeka. Dimana situasi pada saat itu berlangsung sangat tegang, langsung berhadapan dan mendapatkan tindakan represif dari ormas reaksioner. Aparat kepolisian memperketat penjagaan terhadap para demonstran untuk menghindari bentrokan antara ormas dan demonstran. massa aksi tetap menjalankan aksi dengan orasi dan berkampanye menunjukan poster tuntutannya.

Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik” “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat. Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem  sebagai Presiden Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai  sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL ), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL Republik Papua Barat. Setelah wilayah Papua Barat dimasukan secara sepihak lewat manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat oleh Indonesia pada tahun 1969, wilayah ini diduduki layaknya sebuah wilayah jajahan. Indonesia mulai memperketat wilayah ini untuk mematikan gerakan kemerdekaan Papua Barat yang dilancarkan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM)  lewat perjuangan diplomasi dan gerilya. Diperingatinya hari bersejarah ini untuk menuntut Indonesia memberikan Hak Menentukan Nasib Sendiri kepada Bangsa West Papua.[1]

Disini saya melihat bahwa, ormas yang merepresif para demonstran tersebut tidak mengerti apa itu demokrasi, apa itu hak menyampaikan pendapat yang sudah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945. Mereka mengaku Pancasilais dan Nasionalis, tapi tidak memiliki pemahaman atas keduanya. Kami berusaha untuk menyampaikan aspirasi melalui aksi kampanye, agar semua orang tahu jika rakyat West Papua menginginkan kemerdekaan dan lepas dari kolonialisme Indonesia.

Lalu, dalam alinea pertama UUD 1945 berbunyi “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu iala hak segala bangsa, maka oleh sebab itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan”. Akan tetapi, menurut saya UUD 1945 sudah tidak memiliki nilai dan fungsi ketika pembukaannya saja tidak diimplementasikan oleh negara. Dengan kejadian seperti ini, kaum chauvinis mencoba membungkam suara rakyat West Papua.

Tanggal 06 Juli 2019, FRI-WP dan AMP Bandung kembali turun ke jalan. Kali ini, aksi dilakukan di Jalan Asia-Afrika samping Globe, memperingati 21 tahun Peristiwa Biak Berdarah. Peristiwa ini merupakan peristiwa berdarah yang telah meninggalkan pengalaman psikologis yang buruk bagi rakyat Papua Barat. Pada 6 Juli 1998, terjadi pembantaian terhadap manusia Papua di kota Biak, yang disebut Peristiwa Biak Berdarah. Peristiwa berdarah akibat tindakan aparat negara yang berlebihan terhadap rakyat yang mengibarkan bendera Bintang Kejora secara damai itu telah mengorbankan 230 orang. 8 orang meninggal; 3 orang hilang; 4 orang luka berat dan dievakuasi ke Makasar; 33 orang luka biasa; 150 orang ditahan sewenang-wenang & mengalami penyiksaan; dan 32 mayat misterius ditemukan hingga terdampar di perairan Papua New Guinewa (PNG).[2] Dalam aksi ini, lagi-lagi kami mendapatkan aksi tandingan dari ormas reaksioner yang berusaha melakukan kekerasan terhadap demonstran, dan meneriaki kami “anjing”.

Peristiwa Biak Berdarah merupakan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh kolonial Indonesia. Kasus ini hingga sekarang belum terselesaikan, karena para pelaku dan dalang dibalik pembantaian ini masih berkeliaran bebas tanpa diadili. Saya sebagai rakyat Indonesia turut berduka atas kejadian ini, mengecam segala bentuk kekerasan yang pernah dilakukan TNI kepada rakyat West Papua. Ormas-ormas yang selalu mengaku dirinya Pancasilais itu, jika mereka memang paham betul nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila, seharusnya mereka turut bersimpati dan mendukung setiap aksi protes yang dilakukan oleh rakyat Papua kepada pemerintah Indonesia. Bukannya me-Tuhan-kan ideologi, seakan-akan ada agama baru di negara ini yakni Pancasila. Mereka menganggap Pancasila sebagai ideologi absolut, harga mati, dsb. Dengan ini kita bisa menyadari bahwa telah terjadi krisis nilai di Kota Bandung.

Tanggal 14 Agustus 2019, Lembaga Pers Mahasiswa Daunjati ISBI hendak mengadakan Diskusi Publik “New York Agreement dan Situasi Nduga” yang berlokasi di dalam kampus ISBI Bandung. Sebelum diskusi tersebut dimulai, ormas FKPPI, polisi, dan tentara tiba-tiba datang untuk membubarkan acara tersebut. Polisi mencoba menekan melalui rektor untuk menghentikan kegiatan agar tidak jadi dilaksanakan. Alhsasil, beberapa anggota LPM Daunjati dipanggil ke rektorat dan mereka disana diintimidasi oleh pihak yang hadir ketika itu, termasuk polisi.

 Diskusi ini harus kita lihat sebagai kebebasan akademik alih-alih mengganggu keamanan Negara. Kebebasan akademik berarti menghendaki pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika, dengan demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi. Prinsip-prinsip ini juga dilindungi oleh UUD 1945 Amandemen dan UU PT No.12 tahun 2012 yang telah mengatur hak-hak yang disebutkan. Kebebasan akademik, melakukan diskusi-diskusi ilmiah pun sudah diatur dalam undang-undang. Tapi rasanya itu semua hanya hiasan belaka, tidak sepenuhnya dijalani. Mendiskusikan New York Agreement, kita akan mendapatkan kebenaran bahwa ini merupakan “Perjanjian Tanpa Tuan”, dan illegal. Mereka yang berada dalam perundingan itu, tidak satupun orang asli Papua dilibatkan.

Penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York) antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962.[3] Beberapa hal pokok dalam perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut:

1.      New York Agreement (Perjanjin New York) adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.

2.      Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.[4]

 

Tanggal 01 Februari 2020. Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional Kolektif Bandung (PEMBEBASAN Bandung) akan mengadakan diskusi publik tentang “Tahanan Politik Papua & DO Mahasiswa Ternate” yang berlokasi di suatu Kedai Kopi,  Buah Batu. Sekali lagi, acara yang belum sempat dimulai, pemilik kedai didatangi oleh dua orang anggota ormas, satu orang intel, dan pak RT. Mereka menanyakan perihal diskusi, dan meminta acara tersebut dibatalkan. Bahkan, dua anggota ormas tersebut mengancam jika acara tersebut tetap dilaksanakan, maka mereka akan membubarkan paksa. Lalu ancaman datang dari pak RT, apabila diskusi tetap dilaksanakan izin usaha kedai kopi tersebut akan dicabut.

Dari beberapa kejadian sebelumnya, sepertinya membicarakan Papua dimana pun kapan pun adalah sesuatu yang diharamkan oleh Pemerintah Indonesia. Indonesia yang sebagai negara hukum dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, pada kenyataannya tidak dapat melindungi hak-hak demokrasi warganya. Dengan alat negara yaitu TNI/Polri, pemerintah membungkam dan memberangus setiap kegiatan yang berbau Papua. Dan ini mengindikasikan demokrasi di negara ini sudah mati. Sebagai contoh empat kawan-kawan Mahasiswa Universitas Khairun Ternate yang di Drop Out oleh rektornya yang fasis karena terlibat dalam aksi damai solidaritas untuk West Papua yang menjadi korban kolonialisme Indonesia.

Setelah peristiwa rasisme di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya (16/08/2019), para aktivis pro-demokrasi baik dari Indonesia seperti Surya Anta Papua banyak yang ditangkap diberbagai daerah. Penangkapan mereka disebut-sebut karena telah berbuat makar terhadap pemerintah. Mereka dianggap sebagai provokator, dan akhirnya ditahan oleh pemerintah dengan pasal 106 KUHP (pasal makar). Umumnya, mereka ditahan karena mengorganisir dan terlibat aksi-aksi demonstrasi yang memprotes ujaran dan tindakan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya—kejadian yang dalang dan pelakunya tidak diusut secara serius oleh kepolisian Indonesia pada 16-17 Agustus 2019.

Penangkapan dan penahanan para aktivis Papua tersebut jelas merupakan gejala penurunan kualitas demokrasi di Indonesia, khususnya pada aspek kebebasan berpendapat dan berekspresi. Bahkan, dalam beberapa kasus seperti penahanan Surya Anta, dkk. polisi mempersulit proses pendampingan pengacara.

Banyak ahli hukum menyebut bahwa penerapan pasal 106 KUHP yang disangkakan harus memuat unsur aanslag (serangan fisik). Sedangkan para aktivis tersebut di atas mengekspresikan aspirasi politiknya secara damai tanpa kekerasan. Sekalipun aspirasi yang mereka suarakan adalah kemerdekaan Papua, selama disampaikan secara damai, tidak bias dikenai pasal tersebut. Karena itu, Amnesty International Indonesia menyebut para tahanan sebagai “tahanan hati nurani yang dipenjara hanya karena mengungkapkan pendapat mereka dengan damai.” Melalui surat yang ditujukan pada Presiden Jokowi, Amnesty International Indonesia meminta agar presiden membebaskan para tapol itu tanpa syarat.

Pemerintah Indonesia selalu melakukan pendekatan militeristik terhadap rakyat Papua dan tidak sedikit dari kawan-kawan Papua, perempuan Papua, Mama-mama Papua menolak keras keberadaan TNI/Polri di Tanah Papua. Karena keberadaan alat negara ini hanya untuk melindungi korporasi-korporasi yang ada di Tanah Papua agar tidak disabotase oleh kelompok bersenjata TPN-PB. Mulai perusahaan tambang seperti PT. Freeport hingga perkebunan-perkebunan sawit seperti PT. Kumho Abadi Cemerlang. Sawit Watch menyebutkan luasan perekebunan kelapa sawit di Papua saat ini mencapai 958.094,2 hektar dengan 79 perusahan perkebunan. Besarnya angka luasan yang ada saat ini tak menutup kemungkinan akan terus bertambah di tahun mendatang, sebab luas hutan Papua tergolong besar.[5]

Hal yang harus kita sadari adalah dampak yang terjadi akibat dari perkebunan kelapa sawit yang masuk di wilayah Papua, mulai dari konflik pertanahan, hilangnya mata pencaharian masyarakat adat, kriminalisasi oleh perusahan kepada masyarakat, dampak terhadap lingkungan berupa banjir atau kebakaran hutan dan lahan sudah menjadi bukti yang dapat dilihat diberbagai media saat ini. Bahkan pembukaan tambang emas Freeport saja telah menggusur ratusan masyarakat adat yang sejak dari dulu tinggal dikawasan tersebut jauh sebelum Indonesia merdeka. Masyarakat adat Amungme sebagai penghuni asli kawasan tersebut, mendapatkan tindakan kekerasan hingga pembunuhan oleh TNI yang ketika itu sedang gencar operasi militer.

Banyak sekali warga Papua Barat yang masih menggantungkan hidupnya kepada hutan adat, karena bagi mereka hutan-hutan itu tidak hanya keramat tapi juga sebagai penunjang ekosistem dalam kehidupan mereka. Bayangkan jika hutan mereka dialih fungsikan menjadi perkebunan sawit oleh korporasi, hal itu akan merusak dan memusnahkan kehidupan flora dan fauna yang ada di hutan tersebut. Kita tahu bahwa Pohon Kelapa Sawit tidak dapat menyerap panas sinar matahari, sehingga akan membuat permukaan bumi di daerah tersebut menjadi gersang.

Sumber daya alam yang terkandung di Tanah Papua adalah alasan bagi Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat untuk terus mengeksploitasinya. Selama ini Indonesia hidup dari hasil kekayaan alam Papua Barat, para kapitalis-birokrat mengambil nilai lebih yang sangat banyak dari masyarakat Papua. Namun, balasan yang diterima masyarakat West Papua hari ini adalah kekerasan dan pembunuhan. Masyarakat West Papua dialienasikan dari faktor produksinya sendiri, hak-hak mereka dirampas oleh kolonialisme Indonesia. Buktinya, korban kekerasan dan pembunuhan sampai saat ini masih ada saja yang berjatuhan akibat keserakahan kolonial Indonesia.

Agar bisa menguasai kekayaan alam Papua Barat, Indonesia selalu menggunakan pendekatan militeristik. Hal ini sudah dilakukan sejak tahun 1961, dimana Soekarno memerintahkan kepada salah satunya Mayjen Soeharto untuk melaksanakan operasi militer “TRIKORA”. Memang pada saat itu niat Soekarno adalah untuk melepaskan Papua Barat dari belenggu colonial Belanda. Tapi pada akhirnya, selama masa peralihan penyerahan wilayah Papua Barat dari Belanda ke Indonesia melalui UNTEA telah terjadi banyak operasi militer, dengan tujuan mengintimidasi dan memanipulasi psikis warga Papua. Agar nantinya ketika PEPERA mereka mau bergabung dengan Indonesia, dan ini berarti adanya pemaksaan dengan kekerasan yang dilakukan oleh tentara Indonesia.

Dan pada akhirnya pun, ketika PEPERA berlangsung hanya sekitar 1000 suara yang diambil, itu pun sebelumnya para pemilik hak suara telah di setting oleh militer Indonesia agar memilih untuk bergabung dengan NKRI pada 1969. Mereka mengalami tekanan dan ancaman dari militer, karena jika tidak bergabung dengan Indonesia mereka akan dibunuh. Sungguh kejamnya militer Indonesia dibawah rezim Orba ketika itu.

Lalu masyarakat Papua Barat hari ini, banyak yang menginginkan referendum kembali untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa yang merdeka. Karena selama Papua Barat bergabung dengan Indonesia, mereka merasa dikhianati dan dijajah oleh Indonesia. Tapi disaat mereka menuntut referendum dan menuntut Hak Menentukan Nasibnya Sendiri sebagai bangsa yang merdeka. lagi-lagi apa yang dilakukan Indonesia adalah mengerahkan apparat TNI/Polri untuk membungkam rakyat West Papua yang bersuara. Ntah sampai kapan hal ini akan terus terjadi pada Bangsa Papua Barat, yang pasti saya dan pembaca yang sadar akan ketertindasan Bangsa West Papua oleh kolonial Indonesia harus turut menyuarakan apa yang hari ini rakyat West Papua inginkan. Terus lancarkan protes melalui sosial media ataupun aksi solidaritas kepada pemerintah Indonesia untuk memberika Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua. Sekian dan terimkasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar